Salah Memilih Pemimpin, Sengsara Lima Tahun

Author : Mirza Gemilang | Monday, April 28, 2014 10:00 WIB

Jangan salah memilih pemimpin dalam Pemilu 2014 ini, sebab bisa sengsara lima tahun, kalau salah memilih. Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) melakukan terobosan, dengan mengangkat peran rakyat yang memiliki hak pilih sebagai subjek (bukan objek) pada pesta demokrasi Indonesia. Acuannya adalah suara rakyat suara tuhan atau fox populi fox dei.

Selama ini kajian strategik tentang kepemimpinan dengan bermuatan teori kepemimpinan dan syarat-syarat menjadi pemimpin sudah berulangkali digelar. Beberapa tahun lalu kajian strategik IKAL telah merumuskan 17 kriteria seorang pemimpin. Dalam beberapa kepustakaan dikemukakan kriteria dan persyaratan menjadi pemimpin antara lain tentang esensi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, tentang falsafah Hasta Brata dengan delapan asas kepemimpinan, dan Ki Hajar Dewantara yang mengajarkan tiga azas kepemimpinan yakni Ing Ngarso Sung TulodoIng Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.

Mayjen TNI (Purn) Naryadi dalam paparannya di Konvensi Nasional IKAL XI, di Gedung Lemhannas mengatakan, kondisi rakyat Indonesia secara teori belum siap untuk menggelar pesta demokrasi, untuk memilih Presiden secara langsung. Untuk bisa berdemokrasi dengan baik disyaratkan bahwa golongan menengah harus sudah mencapai 30 persen dari jumlah penduduk.

Jika masyarakat strata menengah keatas, mayoritas lebih memilih menjadi penonton bahkan bersikap apatis, maka masyarakat strata bawah lebih bersikap naïf. Mereka memilih pemimpin karena sering muncul di TV. Ada juga yang pragmatis, karena membagi amplop, maka politik uang semakin marak. Namun ada juga sebagian masyarakat yang merupakan pengikut fanatic suatu parpol. Siapapun yang dicalonkan oleh partainya sebagai Capres, maka mereka akan setia memilihnya.

Harus dipahami pula bahwa rakyat Indonesia masih berperasaan halus, sopan-santun, sungkan dan enggan mengkritik pemimpinnya secara terbuka. Akhirnya rakyat mengkritik dan menggerutu dibelakang. Ada sifat hipokrit dan munafik, namun itu kenyataan yang melekat pada budaya bangsa Indonesia.

Tatkala derita rakyat kelewat batas, meledaklah emosi, dan bila komunikasi politik buntu, akses tertutup maka rakyat menggelar aksi demonstrasi, kalau tuntutannya tak dipenuhi maka eskalasi menjadi anarkis. Sejarah mencatat bahwa aksi demonstrasi rakyat sampai bisa menjatuhkan Presiden Republik Indonesia dari jabatannya.

Sungguh kita pantas bersyukur bahwa Indonesia memiliki pemimpin seperti Bung Karno yang berkarakter, integritas tinggi, dan cerdas. Ia pakar geo politik, tidak hanya ingin menyatukan Sabang-Merauke, tapi juga bercita-cita untuk mewujudkan Malayasia-Philipina-Indoensia (Maphilindo). Bung Karno tak ingin mendengar bahwa tanah air Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bukan perjuangan bangsa Indonesia, tetapi warisan Hindia Belanda. Tapi sungguh sayang, perjalanan kepemimpinan Soekarno yang demikian hebat harus diakhiri dengan tragis, dilengserkan rakyat.

Bagaimana dengan Pak Harto (Soeharto)? Bangsa Indonesia harus bersyukur memiliki pemimpin yang berkualitas, berani dan tegas, sambil tersenyum.Pak Harto tentulah sangat memahami ajaran tiga azas kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro. Sungguh sulit dimengerti mangapa Soeharto harus lengser secara tragis, lebih tragis dari lengsernya Bung Karno.

Setiap hari, setiap saat, melalui lembaran-lembaran media cetak, elektronik dan layar televise, kita disuguhi tampilan elit politik, para pemimpin, pengusaha, para aparat penegak hukum diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi dan suap. Namun yang sungguh diluar batas, tatkala Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tertangkap basah KPK ketika melakukan transaksi suap dan korupsi, hancur sudah moral etika manusia Indonesia. Tak ada lagi nilai-nilai budaya, nilai-nilai kemanusiaan yang bisa memebedakan manusia dengan binatang.

Lalu apa yang bisa diharapkan? IKAL menggelar konvensi dan dengan panduan naskah konvensi diharapkan rakyat melalui para praktisi benar-benar paham siapa pemimpin yang diharapkan dan mengetahui secara benar mana pemimpin yang tidak diharapkan pada Pemilu Presiden 2014 ini.Jangan sampai rakyat hanyut tergiur oleh iming-iming (Capres) yang naïf.

Lalu bagaimana gambaran sosok pemimpin yang diharapkan? Dalam upaya member gambaran sosok pemimpin yang sebaiknya dipilih, dan siapa sosok yang sebaiknya tidak dipilih. Mari kita melihat sosok gambaran pemimpin dunia, seperti pemimpin masa kini Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan pemimpin China Deng Zhiaoping. Pemimpin era Bung Karno yakni Josip Broz Tito, pemimpin era Soeharto yakni Anwar Al-Sadat, dan pemimpin sepanjang masa Ratu Elizabeth II di Inggris.

Barack Obama adalah Senator Negara Bagian Ilionis (1997-2004) dan Presiden AS ke-44 (2009-2016). Obama lahir di Hawai pada 4 Agsutus 1961, dari pasangan Barack Husein Obama Senior, mahasiswa muslim dari Kenya, dengan Ann Dunham, wanita kulit putih dari Kansas.Orang tua Obama bercerai ketika Obama berusia dua tahun. Ibunya menikah lagi dengan orang Indonesia, Lolo Sutono dan pindah ke Indonesia pada 1967, ketika Obama berumur enam tahun. Ia dan ibunya tinggal di Jakarta selama empat tahun.

Sungguh beruntung Amerika Serikat memiliki Obama. Seorang yang muda, cerdas, menulis buku tentang dirinya dengan kata yang jitu.Obama mampu menceritakan kepekaannya terhadap ironi dan tragedy dalam interaksi sosial, dimensi-dimensi manusiawi dari setiap persoalan yang ditemuinya.

Lihat saja Track Record Obama bagus, ia aktivis politik yang berlatar belakang aktivis sosial, menghapus racun yang mengotori politik, merubah stigma politik kotor menjadi politik bersih. Obama menulis tentang dirinya dan keluarganya apa adanya dan telah memukau publik AS. Obama merubah yang tidak populis menjadi populis.

Adalah Deng Xiaoping, Sekjen Partai Komunis China (1956), pemimpin terkuat China (1977) dan Bapak Bangsa (1980). Ia menjadi pemimpin terkuat China yang muncul setelah terjadi perubahan kekuasaan sepeninggal Mao Zedong (1976) dan Zhou Enlai (1976). Deng adalah pendorong utama gerakan perbaikan hubungan dengan dunia barat setelah puluhan tahun China menutup diri dari percaturan politik internasional.Dibawah kepemimpinannya RRC jauh lebih demokratis dan perekonomiannya lebih maju.

Dengan ucapan sederhana : “ Tidak perlu ada kucingnya, hitam atau putih, yang penting dapat menangkap tikus,” mampu membangkitkan semangat rakyat China untuk maju dan modern. Pada tahun 1980, untuk memaksa mundur tokoh-tokoh yang konservatif, ia mengundurkan diri dari jabatan eksekutif dalam usia 76 tahun.

Meski begitu, Deng, tetap merupakan orang terkuat di China. Meski secara bertahap penghormatan atau pengkultusan terhadap Mao Tse Tung dikurangi, tapi Deng tetap hormat kepada Mao pemimpin besar China.Sungguh seorang pemimpin tauladan, dicintai rakyat, tidak ambivalen, berani tidak populis, sehingga berani mengundurkan diri, sebelum “diundurkan” oleh rakyat.

Josip Broz Tito (1892-1980). Pangkatnya Marsekal dan Presiden Yugoslavia (1953-1980). Dia adalah salah satu pendiri Gerakan Non Blok, negara komunis pertama yang memisahkan diri dari Blok Uni Sovyet (1948). Pada waktu Perang Dunia Ke-1, dia menjadi tawanan Rusia dan pada 1937 menjadi Sekjen Partai Komunis Yugoslavia. Dengan pangkat Marsekal, Tito berhasil menang dalam pemilu, menurunkan Raja Peter II dari tahta dan memegang kekuasaan sebagai Perdana Menteri Yugoslavia (1948).

Pada 1953 Tito dilantik menjadi Presiden, ia menyatukan berbagai etnis dalam Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Pada 1963 ia mengangkat dirinya sebagai Presiden seumur hidup dan ia wafat di tahun 1980, dimakamkan di Beograd, ibukota Serbia. Meski Tito orang Kroasia, namun makamnya tetap di Beograd dan meski Yugoslavia sudah pecah ia tetap dihormati.

Anwar Al-Sadat adalah Presiden Mesir (1970-1981).Ia diajak damai dan bertemu Begin di Camp David, Australia. Ia berani tidak populis dengan berbagai resiko. Anwar Sadat memiliki karir cemerlang. Perwira mesir ini sukses memimpin perang Arab-Israel tahun 1973. Israel terdesak sampai batas akhir, mengancam akan menggunakan nuklir. Amerika dan Uni Sovyet menghentikan perang.

Ia bisa diajak berdamai, mau berkunjung ke Israel dan pada 1978 ia bertemu Begin di Camp david untuk perjanjian damai. Namun Arab kecewa dan memutuskan hubungan diplomatic dengan Mesir. Kemudian Anwar sadat menjawab dengan membuka hubungan diplomatic dengan Israel, sesuatu yang tidak dapat diterima negara-negara Arab.Pada 6 Oktober 1961, Anwar Sadat ditembak mati ditengah panggung upacara militer Hari Angkatan Bersenjata oleh Letnan Artileri yang merupakan “keponakan” dari kaum Islam garis keras.

Harvested from: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: