Indonesia memiliki beragam model pendidikan dengan keterlibatan masyarakat yang cukup tinggi bahkan paling tinggi dari segi kuantitas penyelenggaraan pendidikan. Jumlah sekolah dan perguruan tinggi milik pemerintah yang disebut sebagai sekolah atau perguruan tinggi negeri sedikit dibandingkan sekolah dan perguruan tinggi swasta atau secara prosentase tidak sampai 20% dari keseluruhan sekolah dan pendidikan tinggi di Indonesia. Ini berarti tingkat partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan sangat tinggi.
Perkembangan sejarah institusi pendidikan di Indonesia lumayan menarik. Pada awal-awal kemerdekaan lembaga pendidikan di Indonesia mewarisi sistem pendidikan Belanda dengan sistem pengajaran klasikal ala sekolah-sekolah di negara-negara Barat. Sehingga pendidikan formal di Indonesia mengikuti pola pendidikan Barat yang memiliki sejumlah karakteristik tertentu atau komponen pendidikan seperti ruang kelas, kurikulum, guru, kepala sekolah, fasilitas laboratorium dan lain-lain. Dengan mengacu pada kriteria dimaksud maka pembelajaran dan pendidikan yang terjadi di pesantren oleh sistem pendidikan nasional kala itu belum bisa dikategorikan kedalam bagian lembaga pendidikan formal.
Dalam pandangan Barat yang memisahkan agama dari pendidikan umum, pendidikan yang berangsung di pesantren kala itu tidak dianggap sebagai pendidikan formal sehingga tidak masuk bagian sistem pendidikan nasional. Alhasil, pesantren tidak menjadi perhatian pemerintah untuk dikembangkan. Di lain pihak pesantren juga tidak memerlukan bantuan atau pengakuan pemerintah karena lembaga ini ada dan berkembanga atas swadaya masyarakat terutama tokoh agama yang disebut kyai.
Kondisi terpisahnya pesantren dari sistem pendidikan nasional berlangsung cukup lama sampai kemudian bangsa ini melalui penyelenggara Negara menyadari sekaligus mengakui peran pesantren dalam turut serta mencerdaskan bangsa. Pesantren yang sudah ada di bumi pertiwi ini semenjak sebelum Indonesia merdeka meski tanpa pengakuan dan bantuan pemerintah telah menunjukkan jati diri dan kualitasnya sebagai pembentuk karakter bangsa. Keluaran pesantren justeru banyak berkiprah positif di tengah-tengah masyarakat, sementara itu tahun demi tahun lulusan sekolah atau pendidikan umum tidak jarang malah membawa persoalan di masyarakat. Tidak sedikit pengangguran berasal dari pendidikkan umum ini sebagai pengejawantahan sistem pendidikan model Barat.
Kedigdayaan pesantren dalam membentuk akhlak para santri terlah terbukti sehingga menarik kalangan pendidikan untuk mengadopsi sistem pesantren kedalam sistem pendidikan klasikal. Oleh karena itu kita mengenal kemudian adalah sekolah berasrama (boarding school) yang materi kurikulumnya diperkaya dengan menambahkan sistem pembentukan karakter akhlak seperti yang dipratekkan dalam kegiatan pengasuahan di pesantren. Disisi lain ada juga yang mendirikan pesantren dengan memasukkan mata pelajaran umum seperti matematika, fisika, kimia dan sejenisnya sebagai bagian dari materi yang diajarkan melengkapi materi keagamaan.
Para cendekiawan Muslim sesungguhnya dalam beberapa dekade belakangan ini telah menyadari bahwa tidak ada dikotomik atau pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dikarenakan ajaran Islam sendiri sebenarnya tidak membedakan ilmu karena semua ilmu adalah dari Allah. Dalam Islam ayat-ayat Qawliyyah yang berupa wahyu Allah dan Hadist Nabi merupakan sumber ilmu yang terkait dengan penjelasan Allah pada ayat-ayat kauniyyah yang berupa kegiatan penelitian, observasi dan pengamatan atas Sunatullah yang berada luas di alam dunia ini. Jadi antara ayat-ayat qawliyyah sebagai sumber inspirasi ilmu dan ayat-ayat kauniyyah yang berada di alam semesta merupakan satu kesaatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya pendidikan Islam mesti menaruh perhatian pada keduanya (qawliyyah dan kauniyyah) sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dengan demikian pendidikan Islam tidak mengenal dikotomik ilmu sains dan ilmu agama. Stigma bahwa pesantren hanya memberi bekal peserta didik untuk kehidupan akherat sedangkan ilmu atau pendidkkan umum membekali peserta didik guna kebutuhan dunia menjadi tidak relevan lagi. Oleh karena itu kini sudah mulai lembaga pendidikan Islam yang “mengawinkan” ilmu sains dan ilmu agama menjadi satu kesatuan dalam kurikulum pendidikannya.
Namun demikian memang gagasan ini belum sepenuhnya dapat dipahami dengan baik oleh pelaku pendidikan dilapangan karena mind set atau paradigma dan cara pandang banyak guru dan kepala sekolah yang masih terkontaminasi dengan sifat pendidikan dikotomik seperti tersebut diatas. Kiranya masih diperlukan upaya terus menerus, tak mengenal lelah yang tiada henti-hentinya untuk memberikan pemahaman benar kepada mereka tentang arti pendidikan sesungguhnya dalam perspektif Islam. Bahwa pendidikan tidak hanya berupa tarbiyah dan ta'lim tetapi juga meliputi ta'dib bahkan yang terakhir ini sedikit banyak diejawantahkan kaum santri dalam bentuk perilaku kesederhanaan, tulus ikhlas, tawadhu, jujur dan amanah yang merupakan bagian dari adab tata krama pergaulan secara Islami.
Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam kita mengetahui kalangan Muslim di Indonesia mulai mendirikan madrasah mulai dari tingkat madrasah ibtidaiyah (SD) hingga madrasah aliyah (SMA). Model pembelajaran madrasah ini sesungguhnya ingin mengadopsi bentuk pembelajaran modern (baca: ala Barat) tradisional klasikal yang memasukkan mata pelajaran umum seperti Matematika, Fisika dan Kimia tetapi mata pelajaran agama tetap dominan. Dalam konteks munculnya madrasah ini meski sudah ada kemajuan tentang pemahaman pendidikan oleh umat Islam tetapi kesan dikotomik masih ada.
Ilmu berasal dari Allah. Manakala kita mempelajari Fisika dan Kimia keduanya adalah ilmu dari Allah dalam wujud ayat-ayat kauniyyah yang inspirasinya terbentang pada ayat-ayat qawliyyah. Manakala seorang Muslim mendalami ayat-ayat kauniyyah maka ia tidak akan melepaskan kajian keilmuan dari ayat-ayat qawliyyah. Kedua ayat Allah itu pada hekakatnya saling melengkapi dan menjelaskan. Begitulah worldview seorang Muslim dalam mengkaji ilmu yang berbeda dengan saintis Barat dalam mengkaji ilmu meski obyek yang diteliti sama. Namun demikian pengaruh Barat akan kuat dalam pikiran saintis Indonesia karena memang saintis Barat dalam beberapa abad ini banyak mengkaji ayat-ayat kauniyyah tetapi tidak menyertakan ayat-ayat qawliyyah. Hal ini dapat dimaklumi karena santis Barat tidak mengakui al Quran sebagai petunjuk umat manusia dalam hidup dan kehidupan di dunia dan meraih keselamatan di akherat, sehingga kajian ilmu yang dihasilkan sesuai dengan worldview nya sendiri.
Semenjak Indonesia merdeka sistem pendidikan nasional dibangun dan dipengaruhi dalam paradigma pemikiran Barat (bukan dalam worldview Islam) yang tidak ingin menggabungkan ajaran agama kedalam pengembangan sains. Lambat laun cendekiawan Muslim menyadari kekeliruan pemahaman tentang pendidikan Islam ini, terbukti dengan berbagai gagasan yang "mengislamisasikan" ilmu dari Barat, sehingga muncul istilah-istilah seperti integrasi antara ilmu dan agama, Islamisasi Ilmu atau ilmu dalam panduan al Quran dan Hadist. Oleh karena itu, dinamika pendidikan Islam di Indonesia cukup menarik dan bakal terus berkembang serta sangat menjanjikan mewujudkan kembali marwah saintis sebagaimana dahulu Islam pernah berjaya yang dikenal sebagai golden age of Islam. Wallahu a'lam.
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4620:sekilas-tentang-sejarah-pendidikan-islam-di-indonesia&catid=35:artikel&Itemid=210