Sekolah International dan World Class University

Author : Aries Musnandar | Monday, April 28, 2014 10:01 WIB

ebagian kalangan di negeri ini begitu silau dan terpesona dengan kata internasional. Saking tertariknya dengan nama “bertuah” itu berbagai sekolah nasional yang dikelola oleh bangsa sendiri diupayakan agar menjadi bagian dari dunia internasional. Menurut mereka sekolah yang berstandar internasional sangat keren dan mentereng sehingga publik pun akan menyambutnya sebagai sekolah favorit dan menjadi tujuan sekolah anak-anak bangsa (yang dimaksud sebenarnya anak-anak dari kalangan”the haves” alias orang kaya). Betapa gandrungnya sebagian elite bangsa ini dengan istilah internasional meski standar yang ditentukan sebagai sekolah berkelas internasional tidak jelas bahkan terkesan naïf. Kenapa begitu? Karena bukan rahasia umum lagi bahwa standar internasional yang dipakai pada sekolah internasional di Indonesia lebih pada penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya  menggantikan bahasa negeri sendiri, sedangkan sisi materi pelajaran tidaklah berbeda. Jadi secara sarkastis orang bisa berkata sekolah internasional itu sekolah nasional yang di “inggris-inggris” kan. Kalau boleh meminjam istilah Bung Karno Presiden RI pertama kita, yang amat benci bangsanya meniru-niru gaya bangsa lain, bahwa di sekolah milik bumi putera itu anak-anak dan guru kita ber “cas cis cus” ria seolah bukan warga bangsa Indonesia, sementara itu tidak ada perbedaan signifikan terkait isi dari mata pelajaran yang dipelajari. Untunglah makhamah konstitusi (MK) sadar sehingga rintisan-sekolah berstandar intenasional (SBI/RSBI) dihapuskan tidak boleh ada di Negara yang berdaulat ini.

Menilik kejadian diatas dan kegandrungan bangsa ini pada umumnya dengan yang berbau asing, kiranya kita perlu memiliki pemimpin yang sejalan dengan konsep Trisakti Bung Karno yakni berdaulat, mandiri dan berkepribadian nasional. Konsep Trisakti akan dapat diwujudnyatakan jikalau pemimpin bangsa ini memiliki ketegasan, keberanian dan komitmen tinggi sebagaimana ditunjukkan para pemimpin bangsa era kemerdekaan yang mengajarkan rakyat bagaimana seharusnya kita berdikari yakni berdiri diatas kaki sendiri yang berdaulat, mandiri dan berkerpibadian nasional itu.

Kembali ke standar nasional internasional dan dunia yang menjadi judul tulisan ini, bahwa kita harusnya berani mengatakan bahwa standar nasional itu bukan berarti berada dibawah standar internasional atau dunia sekalipun. Kita ingat dulu dengan bangga Bung Karno berbicara di depan forum PBB (Persyarikatan Bangsa-Bangsa) terkait filosofi Pancasila yang digali dari perkembangan nilai-nilai luhur rakyat Indonesia. Bahkan Bung Karno dengan percaya diri menawarkan konsep Pancasila ini tidak hanya bagi Indonesia tetapi bisa go international dan mendunia sebagai tatanan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat internasional dan bangsa-bangsa lain di dunia. Konsep, prestasi, keunggulan dan kearifan lokal yang dimiliki negeri ini bukan suatu hal yang tidak mungkin ditawarkan kepada masyarakat mancanegara dan dijadikan referensi warga dunia. Mengapa kita selalu saja inferior terhadap bangsa lain sehingga terpaku pada apa yang ditawarkan bangsa-bangsa lain? Perasaan inferior adalah persoalan psikologis yang dapat diatasi oleh suntikan semangat membara sebagaimana dulu digelorakan semangat revolusim sehingga sebagai bangsa terasa sekali ketika itu rakyat Indonesia berdiri sama tegak duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Kini, diperlukan pemimpin kuat untuk mengembalikan marwah bangsa.

Istilah sekolah bertaraf internasional dan perguruan tinggi kelas dunia (world class university) kerapkali kita dengar bahkan istilah-istilah itu muncul dari elite pejabat pemangku kebijakan pendidikan itu sendiri tanpa secara gamblang dan akurat mendefinisikan makna bertaraf internasional dan kelas dunia. Yang kita ketahui selama ini sekolah internasional hanyalah penggunaan bahasa asing (dan itu pun lebih pada bahasa Inggris saja) sebagai bahasa pengantar, atau lebih jauh guru-gurunya mungkin berasal dari luar negeri tetapi tanpa diketahui pasti kompetensi yang bersangkutan. Seperti diutarakan diatas umumnya materi pelajaran tidak berbeda signifikan dengan sekolah arus utama (mainstream), lalu untuk apa kita biarkan sekolah internasional beroperasi di negeri ini, apalagi jika komposisi staf pengajar ternyata lebih banyak dari asing ketimbang dari bangsa sendiri. Pendirian sekolah internasional di negeri ini mesti diperketat, buat aturan yang jelas dan berjiwa nasionalis, misal, apakah rakyat Indonesia diperbolehkan menuntut ilmu disekolah internasional (baca: asing) itu? Berapa jumlah staf pengajar yang diizinkan terkait komposisi antara pengajar berkebangsaan Indonesia dan asing, mengingat sekolah itu berlokasi di Negara berdaulat Indonesia.  Banyak bangsa kita yang juga bisa berbahasa asing dan sekolah itu mesti “dipaksa” menerima tenaga pengajar warga Negara Indonesia, sekaligus juga untuk membuka lapangan pekerjaan.  

Terakhir, mengenai istilah world class university (WCU) yang di Indonesia juga sangat marak digunakan, terkesan perguruan tinggi dan pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini sedikit banyak ikut ‘terjebak’ standar pada umumnya berlaku baik di Indonesia maupun internasional, misalnya mendapat akreditasi dari badan nasional, internasional, berkemampuan bahasa asing, memiliki mahasiswa dan dosen asing yang cukup banyak dan sebagainya. Meski standar itu boleh saja diikuti, tetapi oleh karena setiap negara mempunyai mkeunikan sendiri, bisa saja standar itu diperluas misalnya di UIN Malang terdapat 20% dari jumlah mahasiswa yang 11 ribu orang itu hafal al Quran sehingga lebih dari dua ribu mahasiswa yang hafal al Quran. Ini merupakan kekuatan lokal yang tentu bisa “go international’. Pencapaian ini tentunya cukup membanggakan walaupun penguasaan al Quran tidak hanya untuk dihafalkan semata tetapi yang jauh lebih penting adalah mengalkannya. Namun demikian setidaknya satu langkah sudah dijalankan. Standar WCU bukan tidak mungkin diperkaya dengan berbagai temuan (riset) dan keunggulan lokal yang tidak dimiliki bangsa lain tetapi bisa “ditawarkan” kepada dunia internasional. Bukankah temuan situs-situs di Indonesia akhirnya dikenal masyarakat internasional dan menjadi warisan dunia. Tentunya ilmu-ilmu terkait situs arkeologi yang dimiliki putra-putri bangsa bisa menjadi khas yang tidak dimliki ilmuwan asing, sehingga kemampuan ilmuwan kita bisa mendunia dan WCU menjadi lebih beragam menghormati keunggulan lokal. Banyak sekali kearifan, kekauatan lokal kita yang bila dicermati pihak perguruan tinggi bisa menjadi bagian dari standar WCU. Hanya saja punyakah kita pemimpin yang mampu menggerakkan segenap kompenen bangsa yang besar potensinya ini untuk mengatakan dengan percaya diri ini ‘dadaku mana dadamu’, dalam arti sebagai bangsa kita tidak minder, inferior atau merasa rendah diri dihadapan bangsa lain karena kita bangsa besar yang kaya segala-galanya. Kini. untuk mengejawantahkan potensi yang dimiliki bangsa ini agar terwujudnya, maka kita membutuhkan pemimpinan nasional yang kuat. Wallahu a’lam

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: