Joko Widodo (Jokowi) resmi tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 setelah dilantik Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Senin (20/10/14) lalu. Jokowi menjadi ikon harapan baru bagi seluruh elemen bangsa setelah kemenangannya pada pilpres 9 Juli 2014. Karenanya, Jokowi dituntut sesegera mungkin dapat mewujudkan janji-janji politiknya.
Prosesi upacara pelantikan yang khidmat, meriah, dan dibumbui “pesta rakyat” mencatat sejarah baru bagi perpolitikan Indonesia. Bahkan, majalah Time edisi minggu ini memuat foto Jokowi sebagai halaman sampulnya. Majalah mingguan terkemuka di Amerika itu menulis “Joko Widodo may the world’s most modest national leader”. Time menulis bahwa Jokowi adalah pemimpin dunia yang paling sederhana dan rendah hati.
Dalam konteks politik Indonesia, Jokowi adalah fenomena baru. Setidaknya dapat dilihat dari: pertama, Jokowi adalah presiden pertama Indoensia yang tidak tercatat sebagai ketua atau pimpinan partai politik (pengecualian pada pengangkatan B.J Habibie). Sejak presiden pertama Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mereka dalah pendiri seekaligus pemimpin besar partai politik. Mereka lahir melalui kekuatan-kekuatan politik yang dibangun sedari awal. Sedangkan Jokowi hanyalah kader biasa yang karier politiknya dimulai sejak menjadi wali kota Solo.
Kedua, Jokowi adalah presiden (baca: pemimpin) yang mampu merobohkan citra dan kharisme pemimpin pada raja-raja Jawa yang berkarakter harus tinggi, besar, gagah, kharismatik, ditakuti, suaranya berdengung, dan berjalan tegap. Jokowi justru tampil dengan gaya ndeso, kecapakan komunikasi dibawah standar, diksinya minim kecakapan bahasa, gesturnya kaku, retorikanya sangat tidak menarik, bahkan membosankan. Singkatnya, Jokowi memberikan antitesa dari seluruh pencitraan sosok kepemimpinan yang pernah ada di Republik ini.
Dengan demikian, sesungguhnya Jokowi adalah akumulasi dari seluruh reprsentasi kebosanan dan pencitraan “kepandaian” atau kecerdasan modern yang selama ini muncul pada sosok presiden sebelumnya. Misalnya, SBY yang bertubuh tinggi, besar, berlatar militer, pidatonya memukao, ternyata tidak mampu merepresentasikan langkah kerja yang cepat, tegas, dan berani. Justru SBY sering disebut lamban, noramtif, dan sangat terpaku pada protokoler pemerintahan.
Dalam kondisi itu, Jokowi menjadi idaman baru sebagai pemipin masa depan. Betapapun kekuatan politik Prabowo yang didukung oleh mayoritas partai di parlemen, unggul dalam modal dan kampanye media yang dahsyat, ternyata tidak mampu mengalahkan kekuatan politik Jokowi yang sebagian besar muncul dari relawan-relawan yang mengorganisir diri mereka sendiri untuk memenangkan Jokowi. Kekuatan relawan (volunteer) inilah, dalam hemat saya, menjadi variabel penting dalam kemenangan Jokowi pada pilpres 9 Juli lalu.
Menanti Langkah Baru Jokowi
Karena Jokowi adalah akumulasi dari harapan publik, maka tak mengherankan prosesi pelatikannya disebut sebagai “pesta rakyat”. Seluruh elemen rakyat Indonesia berjibaku di Monumen Nasional (Monas), tidak hanya menyaksikan dan menonton, namun mereka ingin menjai bagian daripada proses pelantikan itu. Berbagai budaya masyarakat digelar, diramaikan oleh pentas seni. Hal ini memberi simbol bahwa Jokowi adalah sosok yang benar-benar ditunggu dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Setelah pelantikan usai, maka hal yang paling dinantikan seluruh rakyat Indonesia adalah langkah-langkah kongkrit Jokowi dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya. Langkah cepat, dan kemampuan Jokowi untuk mewujudkan harapan publik inilah yang menjadi pertaruhan bagi pemerintahan Jokowi kedepan. Jokowi disimbolisasi sebagai pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Sangat wajar seluruh aktifitas Jokowi akan menjadi sorotan publik untuk memenuhi janji politiknya.
Diantara janji Jokowi yang paling ditunggu adalah, pertama, agenda pemberantasan kemiskinan dengan memberikan subsidi 1 juta setiap bulan kepada keluarga pra sejahtera sepanjang pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sampai pada Maret 2014, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,28 juta orang atau sekitar 11,25 persen. Koefisin Gini mengukur ketimpangan konsumsi meningkat dari 0,30 pada tahun 2000 menjadi 0,41 pada 2013.
Kedua, pada masa kampanye, Jokowi menjanjikan kepemilikan tanah pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga. Pembangunan/perbaikan 3 juta irigasi di 3 juta ha sawah. Pembangunan 25 bendungan, 1 juta ha lahan pertanian baru di luar Jawa. Pendirian bank petani serta penguatan Bulog. Kemampuan Jokowi untuk merealisasikan program ini akan mampu membantu penduduk miskin yang mayoritas berada di desa.
Ketiga, Jokowi berjanji untuk menurunkan pengangguran dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun. Selain itu, Jokowi akan meluncurkan bantuan 10 juta pertahun untuk UKM dan koperasi. Kesuksesan Jokowi untuk menciptakan lapangan kerja ini akan mampu mendukung proses pengetasan kemiskinan, terutama kemampuan dalam mendorong sektor pertanian untuk membuka lapangan kerja yang lebih baik.
Keempat, Jokowi dituntut mampu menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel sebagaimana janjinya untuk membentuk kabinet ahli (Zeken Kabinet) dalam pemerintahannya. Kampanye Jokowi untuk memutus rantai politik transaksional sebagaiamana yang banyak terjadi. Kampanye ini telah mampu mendorong apresiasi masyarakat secara positif untuk memilihnya pada 9 Juli lalu.
Tantangan Politik Jokowi
Tantangan politik Jokowi kedepan sesungguhnya adalah kemampuan dan kecepatannya dalam memenuhi harapan publik yang besar kepada dirinya. Apabila langkah Jokowi justru berbanding terbalik dengan harapan publik, maka seluruh ekspektasi publik akan berbalik menjadi kekecewaan dan “sakit hati” kepada Jokowi.
Secara politik, memang tantangan Jokowi untuk meloloskan seluruh program kebijakannya adalah kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai parlemen. Banyak pihak menilai KMP akan menjadi sandungan bagi lolosnya kebijakan Jokowi, terutama yang langsung memerlukan persetujuan parlemen. Seperti langkah untuk menaikkan harga BBM dan kebijakan fiskal.
Dalam hemat saya, realitas politik tentu harus dibaca secara dinamis. Sistem politik yang tidak sepenuhnya presidensil menjadikan kekuatan parlemen dan pemerintah harus seimbang sehingga mampu menjadi check and balance untuk menopang pemerintahan yang efektif. Bukan eksekutif yang super power sebagaimana kekuasaan Orde Baru, ataupun kekuasaan yang didominasi oleh legislatif.
Karena itu, kekhawatiran yang berlebihan kepada KMP adalah sesuatu pendangkalan dalam membaca realitas politik. Pendangkalan (trivialisasi) politik ini hanya akan membangun proses pendewasaan politik yang tidak efektif. Seolah, Jokowi adalah pemimpin yang seluruh keputusan politik harus didukung, dan kekuasan KMP di parlemen adalah ancaman bagi Jokowi dan distigmaisasi sebagai “orang jahat” yang harus di jaga tingkah lakuknya.
Sesungguhnya tantangan politik bagi Jokowi adalah harapan publik yang menumpuk pada dirinya. Dan sebagai presiden baru, maka Jokowi harus mampu menjawab ekspektasi rakyat yang besar itu. Daripaa sibuk pada dinamika politik yang mempertentangkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) maka Jokowi harus lebih focus pada kerja nyata untuk rakyat. Publik juga harus realistis, sekaligus kritis dalam menyikapi seluruh kebjiakan politik Jokowi kedepan. Sebagaimana yang sering disebutkan Jokowi, ia sangat bergantung pada dukungan rakyat, karena itu ia harus mampu menjawab semua harapan rakyat itu sendiri.