Tantangan Kependudukan 2015

Author : Ratih Purnamasari | Monday, October 06, 2014 11:14 WIB

Program transmigrasi rezim Suharto pada tahun 1972 membawa keluarga Darmosuwito, seorang Jawa, menuju dataran tinggi di Irian Jaya yang kala itu masih didominasi hutan. Memboyong istri dan anaknya, Darmo berangkat ke Tanah Papua dengan kapal motor penumpang yang disewa pemerintah, dikawal ABRI, dan mendarat di Sorong, meleset dari dugaan awalnya Merauke.

Setelah mendarat mereka digiring ke penampungan yang berhimpitan dengan kompleks misionari, sebelum keesokan harinya diangkut truk menuju rumah-rumah panggung yang jadi tempat tinggal selama bertahun-tahun berikut.Bersama ribuan kepala keluarga Jawa waktu itu, Darmo resmi jadi transmigran, lalu dibagi-bagikan tanah seluas lima setengah hektar untuk digarap menjadi pekebunan atau lahan tani. Selama hampir 20 tahun bertransmigrasi di Papua, Darmosuwito memutuskan pulang ke kampungnya di Desa Karangrejek, Gunungkidul, Yogyakarta.

Saya mewawancarai Darmosuwito di rumahnya sekitar awal Januari lalu, di mana dia bercerita panjang lebar soal program transmigrasi yang telah dijalaninya bersama istri, dan mengapa mereka kembali tetap dalam keadaan miskin.

“Tidak banyak (pekerjaan) yang bisa digarap (di Papua), bertani, tanahnya beda dengan Jawa. Suhunya beda, malaria, bikin sakit-sakitan. Tidak tahan saya.” Darmo, sambil menggeleng dan memperlihatkan sisa-sisa giginya, berkelakar. Selain tidak  sanggup mendapatkan pekerjaan tetap, situasi serbaterbatas di Sorong akhirnya memaksa Darmo dan keluarga pulang.

“Kalau di Jawa, miskin pun kita bisa hidup, makan tiwul atau apalah. Tapi di sana…”  Darmo menerawang. Ia bercerita, rasa kangen dan tidak betah membuat mereka ingin cepat-cepat tinggalkan Papua. Dengan bantuan teman, Darmo berhasil menjual lahan perkebunannya dengan harga rendah, lalu berlayar pulang ke Yogyakarta, dan tidak pernah kembali ikut transmigrasi lagi hingga hari ini.

Kepala Desa Karang Rejek Kasdi Siswo Pranoto, yang saya konfirmasi mengatakan bahwa keluarga Mbah Darmo, begitu mereka memanggilnya, tercatat sebagai keluarga “paling miskin” yang ada di desanya. Waktu itu kami memang tengah ditugasi memetakan keluarga termiskin di kawasan rural Yogya. Keadaan dapur, ruang tamu, dan nominal konsumsi sehari-hari Mbah Darmo mengonfirmasi data tersebut. (Baca: Cerita Kemiskinan di Karangrejek)

Memasuki era “milenium” tahun 2000 isu kependudukan tidak lagi bisa diselesaikan dengan program transmigrasi menyusul lengsernya pemerintahan Suharto di tahun 1998. Darmosuwito tidak sendiri. Mungkin ada ratusan bahkan ribuan transmigran dilaporkan kembali ke daerah masing-masing setelah beberapa tahun saja, atau jika tidak pindah ke daerah baru yang kehidupannya sudah lebih“maju”.

Dampak dari kepulangan warga transmigran berimbas kembali pada masalah kependudukan sehingga masih menjadi persoalan oleh pemerintah hingga saat ini. Transmigrasi belum membawa dampak besar terhadap pemerataan penduduk yang berada di luar Jawa, ditambah pemusatan sektor industri manufaktur di pulau Jawa, menyebabkan penduduk dari pulau lain semakin mengincar peruntungan di Jawa.

Mau tidak mau, imbas kegagalan pemerataan berujung pada berbagai masalah kependudukan: kepadatan, kemiskinan urban, masalah lingkungan, tuntutan infrastruktur, hambatan pembangunan, kesehatan, pengendalian angka kelahiran, dan sebagainya. Sementara di sisi lain yang lebih mengerucut, program–program pengendalian jumlah penduduk seperti Keluarga Berencana yang diklaim telah jalan selama setidaknya 50 tahun tidak banyak berpengaruh pada statistik kependudukan lima tahunan.

Setiap tahun, pertambahan penduduk terus terjadi. Rentang 30 tahun, 15 tahun, 12 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Faktanya setelah hampir setengah abad setelah program KB dan transmigrasi, jumlah populasi di Indonesia terus meningkat mencapai 205 juta jiwa pada tahun 2011, sekalipun laju pertumbuhannya jauh lebih rendah sebesar 1,49% dibanding pada periode 10 tahun (1980-1990)  yang mencapai 2%. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai angka sebesar 272 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2011).

Lalu muncul istilah “bonus demografi”. Angka 272 juta jiwa ini diperkirakan akan jadi sorotan ledakan penduduk Indonesia dalam rentang 2025-2030.

Adiutomo, seorang demograf Indonesia menyatakan, pada periode bonus demografi yang merupakan sebuah window of opportunity yang tidak akan berulang kembali di masa depan, ketika tingkat beban ketergantungan berada pada posisi terendah (Kuntjoro, 2011). Artinya, meningkatnya jumlah penduduk usia produktif mulai menanggung beban ekonomi dan sosial golongan lanjut usia yang secara adil dianggap tidak lagi bisa berbuat banyak.

Sebelum memasuki periode “bonus demografi” di tahun 2030, beberapa perjanjian kerjasama akan mengikat Indonesia, tidak terkecuali Asean Economic Community (2015) dan Asean Sosial Cultural Community akan menentukan seberapa berhasil Indonesia menghadapi tantangan tersebut.  Selain itu, meski bonus demografi membuat Indonesia “spesial” dibanding negara-negara regional lain, kita harus mencapai target multibidang dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang ditetapkan oleh PBB dan dievaluasi 2015, dan program-program dalam kemitraan global semisal G-20 dan APEC. Keberhasilan atau kegagalan Indonesia terhadap “regionalime” ini akan memberikan gambaran masa depan soal apa yang akan terjadi pada kependudukan Indonesia di tahun 2030.

Lantas bagaimana Indonesia bisa menikmati bonus demografinya di tahun 2030? Mari kita lihat kondisi sekarang:

Ancaman Ledakan Penduduk

Ledakan penduduk negara berkembang di Asia Selatan dan tenggara seperti Indonesia akan berdampak pada keterbatasan SDA, kerusakan lingkungan, kekerasan sosial dan kemiskinan. Megatrend kependudukan seperti urbanisasi akan berdampak pada masalah sosial (kemiskinan, kesehatan, kriminalitas), ekonomi (tekanan kelas tengah, kesenjangan pendapatan, investasi bidang infrastruktur utama dan penunjang, stabilitas keuangan), dan politik.

Data statistik PBB menggambarkan total penyebaran populasi di perkotaan meningkat lebih banyak di abad ke-20, sekalipun pertumbuhannya dinilai cukup lamban. Dampaknya terhadap urbanisasi sangat kuat, ketika pasar, akses, jaringan komunikasi dan infrastruktur kualitasnya semakin bagus.

Jika pasar dan ekonomi tidak mampu melayani, menjangkau secara maksimal pertumbuhan populasi maka kekacauan dan ketidakstabilan perekonomian akan terjadi. Di Indonesia, kita bisa melihatnya dari kengerian kota Jakarta dengan potret kesenjangan sosialnya yang oleh ekonom George Soros disebut sebagai “keistimewaan” negara berkembang.

Salah kelola sumber daya alam diperparah dengan rendahnya mutu sumber daya manusia. Pengangguran usia produktif terus meningkat dan konsentrasi kemiskinan di Pulau Jawa semakin melebar. Survei penduduk sepuluhtahunan pun ternyata tidak dipakai untuk perbaikan kualitas, tak lebih dari pembaharuan data angka dan proyeksi.

Golongan produktif

Bonus demografi adalah bola emas, bisa menimbulkan rezeki atau masalah. Program-program kependudukan kita tapi harus berada ke tangan yang baik. Pemerintah lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi kreatif sudah membuka peluang besar menghadapi tantangan bonus demografi. Ada insentif khusus bagi industri kreatif digital dan produk bernuansa lokal, berbagai sosialisasi program kependudukan lewat jejaring muda, perfilman, dan industri kreatif lain.

Korea Selatan berhasil menjual tren kesenian dan budaya anak muda di negaranya sebagai pendongkrak ekonomi dan pariwisata. Padahal sebelumnya, tidak terkecuali publik di Korea juga lebih familiar dengan virus “Jepang”.

Di India, orang-orang muda produktifnya diberi insentif manufaktur teknologi di Bangalore, bagian federal yang jauh dari kepadatan pusat pemerintahan New Delhi. Sekarang, mereka juga mengejar Amerika-Eropa lewat industri otomotif. Mereka berhasil memanfaatkan sumber daya manusia seperti mahasiswa terbaik mereka lulusan berbagai kampus terbaik dunia untuk kembali ke dan membangun ekonomi negara.

Sebenarnya, Indonesia pun punya orang-orang muda generasi produktif. Sayangnya, SDM terbaik ini selalu saja dihadapkan dengan berbagai masalah yang akhirnya membuat mereka menyerah, pulang kampung, atau sekalian mengabdi di negeri orang. Insentif ekonomi sampai hari ini belum menjangkau lebih luas, termasuk kebutuhan pembenahan birokrasi dan pemanfaatan data kependudukan.

Saya merasakan kesulitan serupa saat memutuskan untuk menembus persaingan dunia kerja di Negeri Singa, Singapura. Bagi saya pribadi, media untuk mengembangkan keilmuan saya dibidang tata kota akan lebih mudah saya salurkan di negeri singa tersebut, sekalipun permasalahan kota yang sangat kompleks justru ada di Indonesia. Belum lagi jika saya harus kembali ke daerah di Sulawesi Selatan, akses saya semakin terbatas dan pilihan terakhirnya adalah menjadi CPNS (yang artinya ikut menambah beban APBN).

Bayangkan jika 100.000 anak muda kita bisa dipulangkan ke Indonesia, dan pemerintah bisa menjamin keberlangsungan karya mereka, maka Indonesia tidak perlu takut menghadapi bonus demografi di tahun 2030. Bonus demografi ini justru akan menjadi masa keemasan bagi Indonesia, mengejar negara lain yang sudah lebih dulu menancapkan tiang kemakmurannya.

Masalah utama

Ada masalah utama yang terjadi dalam program kependudukan peninggalan Orde Baru: sifatnya menyeluruh tapi tidak studi keadaan daerah. Program Keluarga Berencana yang digadang-gadang bisa mengendalikan laju kelahiran (dan mungkin juga kemiskinan) tidak bisa berbuat banyak karena ledakan di Jawa tidak diimbangi dengan kebutuhan kelahiran di daerah lain.

Program belum koheren. Kebijakan “dua anak cukup” untuk pulau padat penduduk seperti Jawa apakah relevan diterapkan di Papua, Kalimantan yang angka kelahirannya cukup rendah?

SDM di Papua butuh bantuan lebih. Bisakah diprediksi  bagaimana nasib Papua sebagai pulau terkaya di Indonesia untuk 20 tahun mendatang? Apa yang bisa dibayangkan saat melihat kenyataan ini, ketika jumlah penduduk di Papua tidak berimbang dengan beban luasan tanah yang sangat besar. Mau diapakan pengembangan SDM yang masih terbelakang sementara SDA yang ada justru lengang dan tidak berkembang?

Dalam buku The World in 2050, profesor geografi dan peneliti kependudukan Lawrence C. Smith menulis,

Pertumbuhan kelahiran yang mengakibatkan ledakan (jumlah) penduduk tidak selalu dipengaruhi oleh angka kelahiran yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian yang berjalan lambat. Yang paling penting adalah mengetahui di mana pemerataan atau penyebaran penduduk ini terjadi dan memproyeksi kapan terjadinya.” (hal. 11)

Jika Jawa tertekan oleh kepadatan, mengapa tidak membenahi pulau –pulau lain terlebih dahulu di segala sektor sebelum membujuk penduduk hijrah ke sana? Bukankah program desentralisasi multibidang juga telah digalakkan bertahun-tahun silam?

Analis akademik bersama pemerintah melalui program transmigrasi mestinya melihat bahwa ada 4 pulau selain Jawa yang berpeluang besar menerima limpahan penduduk: Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara –Sumatra bisa dicadangkan karena tingkat migrasi terbesar orang Jawa juga ke Pulau ini. Pertanyaannya: bagaimana kesiapan “lahan” di pulau-pulau ini yang menjamin para transmigran nantinya tidak bernasib seperti Mbah Darmo di Gunungkidul?

Selama ini komedi sosial memotret persebaran SDM, pengelompokan industri, dan alokasi anggaran pembangunan dan aliran investasi terus berlangsung di Pulau Jawa, sementara pulau lain hanya berposisi sebagai “pemasok”, penyedia bahan baku, bukan pertumbuhan. SDM-nya pun dianggap kurang bersaing. Padahal, munculnya berbagai kepala daerah berpotensi di luar Jawa mulai mengkritik bahwa pembangunan, industri manufaktur ataupun industri jasa, harusnya bisa juga menopang kebutuhan kependudukan masa depan di pulau-pulau lain ini.

Masyarakat kita senang dengan zona nyaman. Daya tarik pengelompokan industri berdampak pada kualitas hidup yang semakin membaik. Sayangnya faktor kemapanan ini juga yang menyebabkan orang luar Jawa memilih menetap di Jawa, dan orang-orang di luar merasa agak terbelakang di semua kualitas hidupnya, melihat sokongan program yang begitu minim dan faktor nasib.

Kemudian lewat kebijakan pemerintah, lahirlah master plan Percepatan Pembangunan Ekonomi (MP3EI), yakni pengembangan koridor ekonomi di setiap pulau. Targetnya, setiap pulau mampu menyediakan kampus-kampus terbaik, tenaga pengajar terbaik yang kualitasnya sama dengan di pulau Jawa. Industri dan perusahaan semakin tertarik berinvestasi di luar Jawa, karena SDM lulusan kampus terbaik sudah tersebar di semua pulau luar Jawa.

Tantangan bagi Pemerintahan Baru

Dalam program kabinet pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla, masalah-masalah kependudukan nampaknya akan “dirangkum ulang” dengan dileburnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menjadi Kementerian Kependudukan. Jika betul terjadi, kementerian baru ini akan memberi bentuk otoritas lebih kepada BKKBN dalam bentuk regulasi menteri guna mengatasi masalah-masalah yang kita bahas di atas. Kementerian Kependudukan akan sangat terkait dengan kementerian lain yang juga mengurus penduduk, seperti Koordinator Kesra, Kementerian Kesehatan, dan Bappenas.

Tantangannya adalah, ke depan Badan Kependudukan dan kementerian yang terbentuk diharapkan tidak hanya bermain statistik penduduk, angka-angka dan data survei. Data kependudukan yang terus diperbaharui bisa digunakan secara lebih luas, selain daripada bahan realisasi program-program Bantuan Langsung, KTP elektronik (yang masih belum kelar hingga sekarang), atau pemilihan umum. Lebih luas, data kependudukan diperuntukkan untuk pemetaan program-program pemerataan kualitas hidup, pengembangan golongan produktif, pembangunan regional, dan jaring pengaman sosial.

Kabar baik berhembus ketika dalam Debat Capres kemarin presiden terpilih Joko Widodo berkali-kali menekankan bahwa kunci kesuksesan multibidang Indonesia di masa depan adalah pembangunan manusianya. Pembangunan manusia yang berbasis kependudukan sangat bergantung pada keberanian pemerintah keluar dari tradisi lama serbadata dan mulai membangun realitas baru. Pulau-pulau di luar Jawa dibangun sesuai peruntukan nasionalnya, dan segala kebutuhan akan kualitas hidup jadi fokus utama pemerataan ekonomi.

Jika tidak, maka bonus demografi ibarat kapal penuh yang bocor halus. Program-program kependudukan warisan Orde Baru ini hanya membawa kita kepada angka-angka baru, tapi bukan janji pembangunan manusia yang berkeadilan.*

Harvested from: http://sosbud.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: