Tantangan Pendidikan Aksara Abad ke-21: Tangan-tangan Mesin dan Mental Instan

Author : Rindu Rumapea | Friday, August 15, 2014 10:26 WIB

Tulisan yang indah membuat setiap orang yang melihatnya akan berdercak kagum dan penasaran ingin membacanya untuk mengetahui isinya. Tulisan yang indah merupakan suatu karya seni yang mencerminkan kepribadian penulisnya dan menjadi kebanggaan bagi sang penulis. Tulisan yang indah dilahirkan oleh tangan-tangan yang terlatih dibalut dengan kesabaran dan ketekunan. Tulisan yang indah bisa lahir dari semua tangan-tangan manusia yang terpelajar. Kini, Apakah tulisan yang indah dan rapi masih menjadi penting ditengah paradigma bahwa dalam sebuah tulisan yang terpenting adalah maknanya? Kini, Apakah tulisan yang indah dan rapi masih bisa diwujudkan ditengah arus kemajuan teknologi digital dan informasi dimana tangan-tangan manusia tergantikan dengan papan ketik (keyboard) komputer? Jika kita jujur, maka kita harus akui bahwa tangan-tangan generasi muda telah kaku untuk membuat sebuah tulisan yang diukir indah dan rapi. Ini tantangan aksara di abad ke-21, bukan sekadar pemberantasan buta aksara yang notabene—jika konsisten—beberapa tahun ke depan tentu persoalan tersebut bisa dituntaskan.

Tangan-Tangan Mesin Dan Mental Instan

Kemajuan teknologi di era sekarang sangat besar pengaruhnya pada perkembangan pendidikan aksara di negeri ini. Anak-anak yang masih balita sudah diperkenalkan dengan gadget yang memiliki fitur-fitur canggih, sehingga tak jarang kita saksikan dimana anak-anak sangat mahir menggunakan gadget-nya, tapi sayang digunakan lebih banyak untuk melakukan permainan. Orang tua yang menyayangi anaknya bisa dengan bangga menyaksikan anaknya yang mahir bermain gadget-nya dan merasa bahwa anaknya telah berhasil mengikuti perkembangan jaman. Akan tetapi persoalan lain muncul, yaitu tangan-tangan anak mulai kaku ketika digunakan untuk menulis dan cenderung bermental instan karena dia terbiasa melakukan hal-hal yang praktis untuk mendapatkan sesuatu tanpa adanya usaha.

Tangan-tangan manusia yang biasa digunakan untuk melahirkan sebuah kata atau tulisan hanya dengan bermodalkan alat tulis dan buku tulis, kini tergantikan dengan tangan-tangan mesin (papan ketik pada komputer/gadget). Seorang anak bisa lebih cepat menghasilkan sebuah kata, namun dalam bentuk teks komputer. Anak-anak tersebut bisa dengan sesuka hati menekan tombol di komputernya (gadget-nya) namun tetap bisa melahirkan sebuah kata atau kalimat yang ditulis dengan rapi, sangat berbeda jika kita menuliskannya dengan tangan. Jika dengan komputer anak-anak mampu menuliskan kata dengan cepat namun tidak demikian jika dilakukan dengan tangannya, anak cenderung lambat atau asal-asalan, yang penting cepat selesai.

Hal inilah yang membuat semakin lama maka mental anak cenderung menginginkan hal-hal yang instan dan praktis untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, saya kerap kali menemukan anak-anak yang mengeluh jika saya menyuruh mereka mencatat pelajaran yang telah saya jelaskan dipapan tulis. Selain itu, tulisan mereka pun cenderung asal-asalan sehingga berulang kali saya mengingatkan mereka agar memperbaiki tulisannya. Namun apa daya, jenjang pendidikan menangah atas bukanlah tempat yang tepat untuk memperbaiki tangan-tangan anak untuk membuat huruf/kata atau angka dengan rapi sehingga dengan konsekuensi yang berat sekalipun diberikan bagi anak yang tulisannya tidak rapi, tetap saja tulisan anak tersebut tidak rapi. Lebih dari itu, mereka malah mempertanyakan apa sinkronisasi antara tulisan yang rapi dengan jawaban apalagi pelajaran yang saya ajarkan adalah matematika. Mereka sering berpendapat, bukankah jawaban yang benar itu lebih penting daripada bentuk tulisannya. Jika dulu kita ditertawai oleh teman-teman karena kita menulis di papan tulis namun tulisan kita tidak rata (tulisannya semakin lama semakin naik atau semakin lama semakin turun) maka saat ini hal seperti itu tidak kita temui lagi bahkan anak yang menulis asal-asalan pun di papan tulis malah dianggap wajar sehingga semua cuek dengan tulisan yang dia buat apakah rapi atau tidak.

Paradigma seperti ini membuat hati saya miris dan jelas sekali terlihat bagaimana mereka sangat menginginkan hal-hal yang praktis dan instan untuk memperoleh sesuatu. Saya berpikir, bagaimana mungkin mereka bisa berjuang untuk kebaikan bangsa ini jika untuk hal-hal yang praktis saja seperti memperbaiki tulisan sudah mereka bantah atau tak sanggup mereka lakukan.

Oleh karena itu, anak-anak perlu memahami bahwa belajar menulis bukan semata-mata belajar melahirkan sebuah huruf/angka, sebuah kata, sebuah kalimat, atau sebuah tulisan, melainkan juga belajar nilai-nilai positif, karena ketika menulis, kita juga membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan usaha.

Tidak Sekadar Menulis

Mungkin kita masih ingat bagaimana kita diajari membaca, menulis, dan berhitung ketika beberapa puluh tahun yang lalu dimana teknologi masih menjadi hal yang langka. Pelajaran menulis menjadi suatu hal yang sangat sulit. Demi menuliskan sebuah huruf, kadang kala guru kita memegang tangan kita sehingga kita mengikuti gerakan tangan sang guru. Tiap huruf dan tiap kata-kata pertama yang kita buat harus dituntun dengan cara demikian. Setelah itu, kemudian kita diajari menulis indah pada sebuah buku tulis khusus. Setiap hari, sang guru tidak bosan-bosannya membimbing bahkan menuntun kita untuk belajar menulis. Tidak hanya itu, ketika tulisan-tulisan yang kita buat juga jelek maka guru akan kembali berulang-ulang menuntun tangan kita hingga bisa menulis dengan baik. Proses belajar tersebut tidaklah instan. Banyak nilai-nilai positif yang lahir ketika kita belajar menulis, diantaranya: kesabaran, ketekunan, dan hormat kepada guru. Oleh karena itu, kita tidak bisa pungkiri bahwa guru-guru kita terdahulu sangat kita hormati dan kita sayangi sebab mereka mengajar dengan bersentuhan langsung dengan kita dan berani mengambil tindakan tegas apabila kita tidak benar.

Ketika dulu, kita menuliskan sesuatu dengan alat tulis dan buku tulis maka tak jarang kita bisa menghabiskan banyak buku tulis selama kita sekolah. Selain itu, para guru juga sering memberikan tugas mencatat pelajaran sehingga untuk belajar sesuatu maka kita harus menuliskannya terlebih dahulu, atau sebaliknya, bahkan dulu ada akronim yang diplesetkan yaitu CBSA (catat buku sampai abis). Hal-hal seperti itu memang tidak menyenangkan akan tetapi secara tak sadar membuat tangan-tangan kita terampil menulis sehingga ketika kita disuruh mencatat banyak materi pelajaran, kita bisa melakukannya dengan cepat dan rapi.

Peran Orang Tua, Guru, dan Pemerintah

Kita tidak bisa terus membiarkan tangan-tangan anak kita tergantikan dengan papan ketik komputer (gadget). Jika terjadi terus menerus maka kita akan kehilangan budaya menulis dengan tangan. Kita ketahui bahwa hingga saat ini tulisan tangan masih menjadi ciri khas setiap orang yang sulit untuk dipalsukan. Oleh karena itu, pada surat-surat penting atau surat-surat lainnya selalu dibubuhkan tanda tangan untuk menyatakan bahwa surat/perjanjian tersebut adalah sah. Hal ini menandakan bahwa betapa pentingnya tulisan yang kita hasilkan dengan tangan-tangan kita sendiri.

Kita sebagai guru dan orang tua harus memahami bahwa belajar menulis merupakan pelajaran mendasar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, kita juga perlu memahami bahwa belajar menulis tidak sekadar menghasilkan tulisan melainkan juga belajar bersabar, bertekun, bertanggungjawab, dan berusaha. Sebagai orang tua, kita perlu memperkenalkan terlebih dahulu alat tulis dan buku tulis kepada anak-anak kita, bukan memperkenalkan mereka dengan computer/gadget sehingga kita bisa mendidik mereka untuk mau berusaha melatih tangan-tangan mereka agar bisa menulis dengan baik. Kita beri mereka motivasi bahwa mereka bisa menulis, sama seperti orang-orang lain yang bisa menulis apabila mau berusaha.

Sebagai guru, juga perlu membimbing anak untuk belajar menulis dan tentu tidak hanya demi menghasilkan sebuah tulisan melainkan sekaligus mengajar mereka untuk bersabar, berusaha, bertanggungjawab, dan menghargai tulisannya. Nilai-nilai seperti itu harus ditanamkan oleh guru sejak dini sehingga ke depan mereka bisa melawan pengaruh buruk dari kemajuan teknologi khususnya pengaruh yang mengakibatkan anak-anak bermental instan. Pihak sekolah dan pendidikan bahkan pemerintah juga perlu memotivasi anak untuk menulis dengan baik, mungkin dengan mengadakan lomba-lomba menulis indah, bukan seperti saat ini yang cenderung lebih sering mengadakan lomba mewarnai. Kita berharap bahwa semakin banyak lomba menulis indah yang dilakukan sejak dini membuat anak sadar dan bangga mau membuat sebuah tulisan yang indah dari tangannya sendiri.

Menulis indah dan rapi harus tetap dipertahankan demi mewujudkan generasi yang tekun dan mau berusaha di tengah kemajuan teknologi yang menawarkan tangan-tangan mesin untuk menggantikan tangan-tangan manusia. Kita berharap bahwa segenap komponen bangsa (orang tua, guru, sekolah, masyarakat, dan pemerintah) bersatu padu untuk mengkampanyekan menulis dengan menggunakan tangan bukan dengan papan ketik pada komputer atau gadget. Ini tantangan pendidikan aksara yang nyata di abad ke-21, dimana tangan-tangan manusia digantikan dengan tangan-tangan mesin. Jika kita tidak siap mengantisipasinya maka kita akan kehilangan budaya menulis dengan tangan kita sendiri.

Harvested from: http://edukasi.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: