Tantangan Perpu Pilkada langsung

Author : Ilham Putuhena | Tuesday, October 07, 2014 09:49 WIB

Penerapan perpu untuk mengembalikan sistem pilkada lansung yang sudah rubah oleh DPR sebelumnya membawa pertanyaan, sebenarnya presiden dalam pembahasan di DPR bersikap seperti apa? karena tidak mungkin undang undang dapat disahkan jika tidak mendapat persetujuan DPR dan pemerintah dalam hal ini Presiden cq Mendagri. lalu kalau sudah disetujui mengapa presiden kemudian mengeluarkan Perpu.

dari segi hukum ini menarik melihat bagaimana Politik dan Hukum saling terkait, Presiden SBY yang juga ketua partai Demokrat secara jelas menyatakan dukungan dengan Pilkada lansung dengan 10 catatan, tetapi sikap tersebut seolah olah berbeda dengan sikap pemerintah yang menyetujui Pilkada DPRD, serta sikap partai Demokrat yang Walk Out.

perbedaan kebijakan pemimpin dan pelaksanaan dilapangan memberi gambaran bahwa logika pemerintahan dengan dukungan parlemen tidak linier, apakah ini kesengajaan? banyak yang mengkritik permainan politik seperti ini sebagai sesuatu yang tidak patut, ujungnya memang Presiden SBY terpuruk dimata publik diakhir jabatannya. sehingga SBY berusaha untuk mengembalikan “citra” dengan merubah sistem Pilkada DPRD menjadi kembali kepilkada lansung.

implikasi dari anomali pemerintah dan politik tersebut selain terhadap citra SBY, Pemerintah dan partai demokrat juga sebenarnya mempertegas buruknya tatacara pembentukan perundang-undangan yang masih mendorong Oligarki elit atas penataan sistem yang ada. Pemilihan lansung merupakan sistem fundamental yang kemudian dapat dirubah dengan mudah oleh parlemen, kedepan seharusnya terhadap sebuah keputusan mendasar dengan hak rakyat dan sistem mendasasr harus di tentukan melalui MPR atau Referendum, sistem referendum sebaiknya di terapkan dalam penataan sistem bernegara yang mendasar.

Tantangan Perpu di Parlemen

sejauh mana perpu dapat efektif tantu tidak dapat dilepaskan bahwa perpu sebagai pendapat subyektif presiden harus di sepakati oleh subyektifitas DPR juga dalam sidang pertama di DPR. hitungan politiknya jumlah Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR masih signifikan, secara logika maka arah kebijakan KMP adalah mendorong Pilkada DPRD, harunya kalau konsisten maka mereka akan menolak Perpu tersebut, sehingga SBY dan Demokrat harus mengharapkan dukungan Koalisi indonesia Hebat (KIH) untuk dapat dukungan Perpu sehingga bisa menjadi Undang-undang.

walaupun dalam perkembangan politiknya, demokrat dalam hal ini SBY telah membuat kesepakatan pada KMP bahwa perpu tersebut tidak akan ditolak dengan konsekwensi Demokrat bergabung dalam penataan DPR dan MPR, (bisa jadi masuk dalm koalisi secara permanen), tetapi anomali politik kembali menggambarkan bahwa Pilkada Dprd ternyata hanya komoditas atau bergaining politik semata dalam penentuan kekuasaan, Sitem kita tidak diatur berdasarkan penataan yang ideal tetapi hanya berbagi kekuasaan.

Tantangan Perpu yang menjadi UU di MK

sementara kita asumsikan skenario SBY diparlemen berhasil, tetapi kemungkinan berikutnya adalah perpu tersebut kemudian digugat di MK oleh  kelompok “tertentu”. maka perpu tersebut dapat dibatalkan, apabila dapat dibuktikan bahwa pertama tidak ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;kedua Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut sudah ada sehingga tidak terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang yang sudah memadai; ketiga tidak terjadi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

pembentuka sistem Pilkada lansung ini telah mencerminkan bahwa transaksi politis masih lebih mendominasi dan mengesampingkan kebutuhan penataan sosial dan bernegara.

Harvested from: http://hukum.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: