Tingkat Kognitif pengaruhi Analisis Keputusan

Author : Aries Musnandar | Monday, May 19, 2014 09:35 WIB

Ketika puluhan tahun lalu mulai belajar tentang ilmu pendidikan saya mengetahui bahwa terdapat dua ilmuwan terkemuka yang sangat menaruh perhatian pada teori-teori belajar (learning theories) yakni Robert M. Gagne dan Benjamin Bloom yang sekitar tahun 1956 melahirkan teori condition of learning dan taxonomy Bloom yang demikian fenomenal. Tulisan ini tidak akan menjelaskan secara rinci berbagai teori yang mereka ungkap dan hingga kini teori-teorinya tetap menjadi acuan para akademisi dan penggiat pendidikan. Bahkan kerapkali ilmuwan lain (non ilmuwan pendidikan) baik langsung maupun tidak langsung mengutip istilah-istilah pendidikan seperti kognitif, afektif dan psikomotorik yang merupakan kawasan keahlian kedua tokoh tersebut.

Akan tetapi mereka yang kurang paham ilmu pendidikan tatkala mengungkapkan istilah kognitif, afektif dan psikomotorik acapkali menyederhanakan pemahaman atas istilah-istilah dimaksud. Dalam kajian ilmu pendidikan, individu yang menuntut ilmu apapun disiplin ilmunya sesungguhnya tidak terlepas dari teori-teori Bloom dan Gagne. Lingkup kajian teori Gagne dan Bloom ini memang menarik dan penting dalam perspektif pembelajaran namun terkadang banyak orang (awam) salah kaprah dalam memaknainya seperti munculnya ungkapan bahwa kognitif dimaksudkan sebagai aspek pengetahuan semata. Pemahaman seperti ini seringakali kita dengar dan baca diucapkan oleh para pemangku kebijakan pendidikan yang seharusnya mereka secara komprehensif mempelajari terlebih dahulu istilah-istilah tersebut diatas sebelum memegang amanah sebagai pembuat kebijakan di dunia pendidikan.

Dari pandangan ilmu pendidikan tingkat-tingkat dalam kognitif berjenjang dan saling terkait satu dan lainnya dalam keseluruhan proses pembelajaran si belajar, sementara itu aspek pengetahuan hanyalah bagian kecil atau barulah satu aspek dasar dari domain kognitif. Kekurang-mendalaman dalam memahami makna kognitif bisa diketahui dari penataan kegiatan belajar yang hanya ditekankan pada sebagian aspek dari ketiga kawasan (domain) dimaksud tanpa menyadari bahwa ketiga domain itu sendiri maisng-masing memiliki tingkat kerumitan yang saling melengkapi dan keniscayaan diramu pada proses kegiatan belajar mengajar. Apabila keliru dalam memahami konsep, strategi perencanaan hingga evaluasi pembelajaran juga ikut keliru. Alhasil diujung keluaran pembelajaran daya analisa dan pemahaman lulusan pendidikan terhadap suatu masalah yang dikaji tidak mendalam serta terkesan sederhana saja.

Dalam kesempatan ini saya hendak menjelaskan secara populer saja ekses dari rendahnya mutu kognitif yang diperoleh dari hasil pembelajaran di lembaga pendidikan formal sehingga manakala lulusan pendidikan berada di dunia kerja sang lulusan terkesan kurang mampu menganalisa persoalan secara mendalam. Buruknya kualitas keputusan yang diambil tidak lepas dari rendahnya tingkat analisis pengambil keputusan. Dari sudut pandang teori belajar rendahnya daya analisis individu mengakaji persoalan berasal dari kelemahan dalam mengasah level kognisinya menuju pada tingkatan yang optimal. Kerapkali kesalahan dalam pengambilan keputusan disebabkan sang pengambil keputusan demikian sederhana menganalisis kebijakan, dan hal ini bisa terjadi karena ia tidak terbiasa mengolah domain kognisinya pada tingkatan tertinggi. Namun demikian disamping kognitif tingkat tinggi unsur "akhlak" yang dibentuk dan diproses pada antara domain kognitif dan afeksi juga bisa mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang. 

Dalam kesempatan ini secara populer mungkin saya bisa memberikan dua contoh lemahnya penggunaan daya kognisi para pengambil kebijakan. Contoh pertama yang terjadi dalam konteks pembangunan sarana prasarana di kampus. Pengambil keputusan di Universitas tersebut misalnya menetapkan bahwa jalan-jalan di kampus perlu menggunakan paving block atau konblok dan oleh karena itu jalan aspal yang masih bagus dan kuat di kampus itu dibongkar untuk diganti dengan jalan konblok. Namun apa yang terjadi kemudian adalah jalan konblok yang dipasang itu ternyata ceoat rusak dan akhirnya malah mengganggu kelancaran lalu lintas di kampus. Mungkin maksud pengambil keputusan dengan membuat jalan konblok air hujan akan terserap sehingga tidak akan ada banjir atau genangan air yang mengganggu manakala turun hujan terus menerus. Tetapi apa daya ternyata jalan konblok tidak sekuat aspal dan pemasangan konblok tdak rapat, padat, juga kita ketahui konblok tidaklah sekuat aspal. Oleh karena itu dalam hitungan bulan jalan konblok tersebut mulai pecah dan bergelombang. Padahal jika kampus itu tetap memanfaatkan aspal dan mempertahankannya sebagai jalan dilingkungan kampus maka sejumlah dana dapat dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih produkitf. Sedangkan persoalan banjir atau air yang tergenang di kampus bisa ditanggulangi dengan sistem drainase dan saluran air yang memadai. Kurang jeli dan kurang cermatnya pengambil keputusan menganalisis persoalan ini sebagai akibat dari lemahnya tingkat kognisnya.  Kesalahan menganalisis keputusan membuat pekerjaan menjadi mubazir, sia-sia dan tidak efektif 

Contoh kedua misalnya di Malang beberapa waktu lalu dibuatkan marka jalan yang terbuat dari  titanium. Mungkin hasil analisis pembuat keputusan memerlukan bahan titanium sebagai marka jalan sebagai pembatas jalur kanan dan kiri yang apabila malam hari titanium itu memancarkan cahaya apalagi jika disorot lampu kendaraan bermotor akan tambah menyala, sehingga pengguna jalan terbantu melihat pembatas jalur kanan dan kiri. Namun penggunaan titanium untuk marka jalan menghabiskan dana yang tidak sedikit, disamping itu mahalnya harga per marka jalan tidak sebanding dengan kualitas oemasangan titanium itu yang tidak dalam berapa lama mulai terkelupas dari aspal. Satu hal lagi yang merugikan adalah banyaknya titanium yang hilang dicuri karena mungkin tahu dengan harganya yang demikian mahal. Hal ini membuat keputusan membuat pembatas jalan dengan marka yang terbuat dari titanium tidak efektif dan ini menandakan pula hasil analisis yang lemah terlepas dari unsur KKN dari keputusan yang diambil itu.

Dari kedua contoh pengambilan keputusan diatas tampak mereka yang mengambil keputusan itu tidak memiliki daya analisis yang kuat sebagai akibat lemahnya penggunaan doman kognisi yang dimiliki. Keterbatasan penggunaan tingkat kognisi ini bisa jadi disebabkan pembelajaran di sekolah ketika sang pembuat keputusan itu bersekolah yang sudah terbiasa dengan sistem belajar tes pilihan berganda atauobjective tests dalam kerangka tes tertulis (paper and pencil tests). Ujian-ujian yang bersandarkan pada tes obyektif itu ternyata tidak obyektif karena siswa dimungkinkan bermain "gambling" untuk menentukan jawaban. Tes-tes model ini dalam tataran kognitif berada pada level terbawah dari tingkatan kognitif. Pembiasaan yang bertahun-tahun ini yang membuat kreativitas individu dalam mengolah domain cognitive nya tidak terjadi karena bertahun-tahun pula pembelajaran berlangsung hanya pada tataran level awal dari domain tersebut. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari lemahnya daya analisis pengambil keputusan dalam melaksanakan tugasnya termasuk dalam urusan kegiatan berbangsa dan bernegara.   

Pembelajaran yang memerhatikan aspek kognitif tingkat pengetahuan hingga tingkat evaluasi sesuangguhnya dapat dilakukan namun tidak melalui tes-tes pilihan berganda seperti yang dibuat melalui ujian nasional itu. Banyak teknik dan kiat yang bisa diterapkan untuk meningkatkan daya analisis siswa baik untuk mengembangkan kognitif, afektif maupun psikomotirk siswa, namun tulisan ini tidak akan membahas hal itu. Tulisan saya kali ini hanya mengangkat persoalan secara popluer saja karena memang masih memerlukan forum akademik terukur untuk membenahi pembelajaran di pendidikan formal dengan mengacu pada teori-teori belajar tersebut diatas. Wallahu a'lam

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: