“TOLERANZ sollte nur eine voruebergehende Gesinnung sein: sie muss zur Anerkennung fuehren. Dulden heisst beleidigen”–”Toleransi sesungguhnya hanya sebuah sikap sementara: Toleransi harus berkembang menuju pengakuan. Memperbolehkan adalah sebuah penghinaan.” Ungkapan ini berasal dari sastrawan Jerman abad ke-18/19, Johann Wolfgang Goethe, sebagai catatan kritis atas praktik toleransi pasif seperti dirumuskan dalam dokumen klasik tentang toleransi bernama Edik Nantes (Edikt von Nantes).
Edik nantes
Dokumen yang berasal dari 1598 ini merupakan salah satu catatan historis terpenting dan tertua tentang toleransi. Maklumat ini disusun guna mengakhiri peperangan antara Gereja Katolik Roma dan gereja Protestan yang melanda Eropa pada abad ke-16 dan 17. Agar tidak menjadi alasan konflik dan kegaduhan di antara warga masyarakat, pemerintah Prancis waktu itu yang mayoritas Katolik Roma mengizinkan para penganut gereja reformis untuk hidup dan tinggal di semua kota dan tempat di wilayah Prancis. Dengan demikian, mereka tidak dipaksa ‘melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan suara hatinya’. Demikian substansi dari dokumen tertua tentang toleransi tersebut.
Sudah pada masanya, Goethe mengendus cacat dan ambivalensi toleransi ini. Di satu sisi penguasa Prancis memberikan jaminan keamanan dan kebebasan terbatas kepada kelompok minoritas. Namun, di sisi lain, jaminan tersebut tak lain dari praktik kekuasaan menindas terselubung atas kelompok minoritas. Hidup kelompok minoritas sangat bergantung pada kebaikan hati penguasa. Untuk itu, mereka harus membayarnya dengan loyalitas terhadap penguasa.
Bagi Goethe, praktik toleransi versi Edik Nantes ialah penghinaan terhadap kebebasan asasi manusia. Toleransi di sini tidak dipahami sebagai hak, tetapi hadiah yang dimohonkan dari penguasa atau kelompok mayoritas. Setiap saat dapat dicabut kembali jika kaum minoritas melanggar sejumlah ketentuan.
Toleransi pasif
Di Indonesia relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas sering masih didominasi pola relasi timpang. Hal ini paling banyak dialami para penganut kepercayaan yang kelompok minoritas. Penganut Sapto Darmo di Brebes, Jawa Tengah, misalnya kesulitan memakamkan keluarganya di permakaman umum karena kolom agamanya di KTP kosong. Demikian pun perkawinan penganut kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur, tidak dicatat negara. Akibatnya, anak-anaknya tak memiliki akta kelahiran. Bahkan, anak- anak Sunda Wiwitan sering harus berbohong soal identitas agamanya agar dapat bersekolah (Bdk Kompas, 6/10/2016).
Praktik-praktik toleransi pasif sangat rapuh dan mudah sekali diprovokasi lewat isu-isu sektarian. Dalam kasus kerusuhan Tanjung Balai, Tolikara, dan di tempat-tempat lain di Tanah Air, kita dapat menyaksikan bagaimana warga begitu gampang meninggalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan tradisi toleransi yang sudah diwariskan cukup lama hanya karena hasutan di media sosial. Sesama warga tak segan-segan dihabisi hanya karena berbeda agama dan keyakinan.
Satu bukti bahwa toleransi belum tampil sebagai kebajikan politik demokrasi yang harus diperjuangkan. Toleransi dipandang sebagai sikap terpaksa membiarkan yang lain hidup lantaran factum pluralitas. Kualitas demokrasi di Indonesia yang plural sangat ditentukan kualitas kebajikan toleransi yang berpijak pada prinsip hak, kebebasan, dan kesetaraan. Karena itu, sudah saatnya untuk beralih dari model toleransi belas kasihan menuju paradigma hak. Bangsa Indonesia harus meninggalkan konsep toleransi pasif yang berbasiskan tradisi semata menuju toleransi autentik dengan penekanan pada persamaan hak antara kelompok mayoritas dan minoritas.
Respek
Berbeda dari toleransi pasif, toleransi autentik bersifat afirmatif terhadap hak hidup, kebebasan, dan kehendak yang lain sebagai yang lain untuk berkembang. Dalam bahasa Rosa Luxemburg, kebebasan selalu berarti kebebasan berpikir lain. Toleransi autentik atau biasa juga disebut toleransi respek berkaitan dengan sikap seseorang terhadap yang lain dalam relasi sosial. Prinsip toleransi ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan rentan terhadap konflik lantaran perbedaan agama, suku, dan pandangan hidup. Untuk kondisi masyarakat post-sekuler, yakni agama-agama secara empiris dan normatif berkiprah di ruang publik, respek merupakan sikap yang tepat dalam relasi antara agama, tapi juga dalam relasi antara agama dan akal budi. Post-sekularisme memberi ruang agar terjadi proses saling belajar antara agama dan akal budi sekuler. Itu berarti, demikian Juergen Habermas, akal budi tidak boleh bertindak sebagai hakim sepihak atas kebenaran-kebenaran religius, tapi bersedia mendengarkan klaim-klaim religius di ruang publik.
Agar dapat didengar dan dipahami di ruang publik yang plural, agama-agama pun harus mampu menerjemahkan doktrin-doktrinnya ke dalam bahasa nalar publik. Di samping itu, agama dituntut untuk mengakui otoritas nalar dalam ilmu pengetahuan dan prinsip egalitarianisme universal dalam hukum dan moral. Agar agama mampu menerjemahkan ajarannya ke dalam bahasa nalar publik, setiap komunitas agama membutuhkan pembaharuan struktural yang membuka ruang bagi proses pluralisasi pandangan agama secara internal. Agama-agama harus secara kritis merefleksikan kembali sejarah dan doktrinnya, dengan bantuan metode historis kritis, kritik semantik, dan hermeneutika.
Dengan kualitas refleksi seperti ini, bahaya intoleransi dan fundamentalisme agama pun dapat dihindari. Untuk itu, agama perlu merumuskan gagasannya dalam bahasa nalar publik yang melampau identitas aslinya yang prapolitis dan primordial, dan akhirnya ikut memberikan kontribusi dalam pembentukan solidaritas politis dan pascatradisional yang kukuh dalam sebuah masyarakat yang plural.