Ujian Nasional: Mengabaikan Kepentingan Siswa ?

Author : Aten Suharto | Wednesday, April 16, 2014 09:46 WIB

Hari ini ujian nasional serentak diselenggarakan di seluruh Indonesia, dari Merauke sampai Sabang. Dari sudut pandang penyelenggara dan kepentingan nasional katanya, ini kerja besar yang membanggakan. Waktu sama? Soal sama? Cara penilaian sama?

 

Bukan cara terbaik menilai penguasaan pengetahuan !

Cara menilai penguasaan pengetahuan siswa dengan menyodorkan daftar pertanyaan bersama daftar jawaban, merupakan cara penilaian yang paling rendah, sederhana, tidak berkualitas.

Tingkat penguasaan pengetahuan siswa secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi 6 tingkat yakni:

Tingkat1: Siswa dapat memilih jawaban yang benar dari 2 pilihan benar dan salahIni merupakan tingkat penguasaan awal. Dalam memilih jawaban, kemungkinan ada faktor kebetulan (lucky) atau kebalikannya kemungkinan salah menginterpretasikanpertanyaan atau jawaban.

Tingkat 2: Siswa dapat memilih jawaban yang benar dari beberapa jawaban. Tingkat penguasaan ini sedikit lebih tinggi, namun masih ada faktor kebetulan ataukemungkinan salah menginterpretasikan pertanyaan dan atau jawaban.

Tingkat 3: Siswa dapat merefleksikan dengan benar pengetahuan yang dipelajarinya melalui kata-kata lisan, isi atau ringkasan, dengan gayanya sendiri. Disini siswa telah menguasai sebagian besar pengetahuan, minimal pokok-pokoknya.

Tingkat 4: Siswa dapat merefleksikan dengan benar pengetahuan yang dipelajarinya melalui tulisan, isi atau ringkasan. Pada tingkat ini siswa telah menguasai hampirsepenuhnya pengetahuan, dapat menyimpulkan, dapat menyampaikan kembali, dengan gayanya sendiri, secara terstruktur.

Tingkat 5: Siswa dapat menggunakan (menterapkan) pengetahuan yang dipelajarinya dalam perilakukanya/gerakan/ketrampilan. Pengetahuan telah merasuk ke dalam dirisiswa, telah mempengaruhi dan mengarahkan gerakan badannya.

Tingkat 6: Siswa dapat meramu materi yang dipelajari dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki, sehingga menghasilkan ramuan pengetahuan/gerakan/ketrampilan baru.

 

Mengabaikan kepentingan siswa?

Kebutuhan belajar setiap siswa itu spesifik sifatnya, sangat tergantung dari tempat tinggalnya, untuk apa ilmu yang dipelajarinya? dsb. Kebutuhan pengetahuan setiap siswa tentu berbeda, sesuai dengan tempat tinggalnya seperti pedesaan, perkotaan, persawahan, perkebunan, perindustrian, perikanan, daerah tertinggal, daerah maju, dsb. Juga tergantung untuk apa pengetahuan akan digunakan? Apakah untuk melanjutkan sekolah sederhana di desanya, di kota kecil, bekal untuk kerja, melanjutkan sekolah taraf internasional di kota besar, dsb.

Jika ujian nasional berorientasi pada kebutuhan belajar siswa tentunya isi pertanyaan tidak sama, berbeda, tergantung lingkungannya.

Jika pertanyaan disamakan akan terjadi ketimpangan, yang tinggal di daerah terpencil pasti merasa pertanyaannya terlalu tinggi, banyak yang menjadi korban, malu, waktu terbuang, tidak lulus meskipun telah memenuhi kebutuhan pengetahuan lokal, yang tinggal di daerah kota besar bersekolah taraf nasional pasti merasa terlalu mudah, namun belum cukup dipakai sebagai ukuran untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah taraf nasional/internasional, terpaksa mengikuti test masuk.

 

Masukkan penilaian lokal

Hasil ujian nasional tidak mencerminkan sebenarnya tingkat pengetahuan siswa selengkapnya, penilaian tidak mendalam, mengabaikan kemampuan.

Agar hasil penilaian membanggakan, lebih berbobot, seimbang, menggali lebih dalam penguasaan siswa, memenuhi kebutuhan spesifik, baik jika dimasukkan penilaian lokal yang dilakukan oleh sekolah masing-masing, penilaian Tingkat 3 (refleksi lisan), Tingkat 4 (refleksi tulis), Tingkat 5 (refleksi perilaku/perbuatan), Tingkat 6 (refeleksi meramu),

Yang selama ini paling mengetahui kamampuan siswa adalah sekolah, para ibu dan bapak guru. Tidak lengkap dan akurat rasanya jika dalam penilaian akhir tidak menyertakan para ibu dan bapak guru. Jika penilaian tidak akurat, tidak ada harapan untuk berbuat.

 

Indonesia berlari

Dunia bergerak makin cepat, kita semua tahu Indonesia tidak bisa mengikuti, tertinggal di semua bidang, lemot istilah sekarang. Indonesia harus berlari, melompat kalo mungkin. Positif thingking and doing, for a better future. Berpikir dan berbuat positif sekarang, untuk masa depan lebih baik.

Harvested from: http://edukasi.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: