Seorang perajin menyelesaikan proses membatik sebelum diberi warna dengan bahan pewarnaan dari alam di batik tulis Sri Kuncoro, Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta, Sabtu (8/12). Batik tulis dengan pewarna bahan alami tersebut dijual dengan harga mulai Rp 350 ribu hingga jutaaan rupiah tergantung motif serta tingkat kesulitan pembuatan dan banyak dicari karena aman dipakai juga ramah lingkungan daripada batik dengan pewarna kimia. (FOTO ANTARA/Sigid Kurniawan) |
New York (ANTARA News) - Sebanyak 30 guru seni dari berbagai jenjang pendidikan, yaitu sekolah menengah atas, sekolah menengah pertama dan sekolah dasar, mengikuti pelatihan tentang batik yang diberikan Kedutaan Besar RI di Washington DC melalui program "Indonesian Batik Workshop for Art Teachers" pada awal pekan ini.
Menurut informasi yang diterima ANTARA dari KBRI Washington, Jumat, pelatihan yang berlangsung dua hari itu mengajarkan peserta tentang teknik membatik tradisional Indonesia dengan menggunakan canthing, cap, malam serta proses pewarnaan batik dengan pewarna alam.
Selain teknik, dalam sambutan yang disampaikannya melalui video, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal juga menjelaskan hakikat batik bagi Indonesia, antara lain sebagai warisan dan bagian dari kekayaan budaya yang perlu dilestarikan bersama.
Batik Indonesia telah telah mendapat pengakuan dunia dan masuk dalam daftar Intangible Cultural Heritage of Humanity-UNESCO.
Meskipun berprofesi sebagai guru seni, sebagian besar peserta menyampaikan bahwa mereka belum mengetahui lebih dalam soal batik Indonesia dan seni membatik.
Pelatihan intensif selama dua hari itu, selain memperlihatkan cara membatik secara tradisional, juga mengajarkan teknik alternatif seni membatik dengan menggunakan terigu --untuk pengganti malam-- sebagai cara yang lebih aman dan lebih sederhana.
Dengan cara itu, guru-guru diharapkan dapat mengajarkan seni membatik kepada para siswa-siswi di sekolah dengan lebih mudah dan disesuaikan dengan kondisi di AS, termasuk dalam hal alternatif penggunaan malam yang ditenggarai kurang baik bagi kesehatan.
Proses pewarnaan dilakukan dengan cara menggunakan kwas dan tanpa proses celup sehingga menjadikan teknik ini lebih sederhana dan mudah diikuti oleh siswa, bahkan oleh siswa sekolah dasar.
Teknik alternatif tersebut, seperti yang dijelaskan KBRI Washington, diperkenalkan oleh Instruktur Batik Indonesia dari Montreal Kanada, Ibu Avy Loftus, dengan tema "Peace, Love and Hope".
Tema diambil dalam upaya mengurangi praktek `bullying` (kekerasan) yang sering terjadi di sekolah-sekolah di AS maupun di Kanada.
Para peserta pelatihan juga dibekali dengan pengetahun terkait sejarah, arti dan macam-macam batik Indonesia dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah mengikuti pelatihan, kata KBRI Washington, para guru menyampaikan kekaguman mereka atas kekayaan budaya Indonesia dan tergerak untuk mengetahui dan mempelajari lebih jauh mengenai budaya Indonesia. (T008)