Menyinden sejak kecil, Sruti kini banyak terjun dalam seni lintas genre (crossover). |
Profesi sinden kembali dikenal masyarakat Indonesia karena beberapa acara televisi swasta memboyong 'pesinden' dalam berbagai program tayangan mereka.
Penyanyi tradisional karawitan (Jawa dan Sunda) ini kerap dicirikan sebagai perempuan berkain batik dengan kebaya melekat di badan dan sanggul besar di belakang kepala.
Kalau jaman dulu sinden harus tahan duduk sampai delapan jam mengiringi pertunjukan wayang semalam suntuk. Sekarang cukup duduk manis, atau berdiri bahkan bergoyang bila perlu, selama lebih kurang satu-dua jam untuk bayaran 'puluhan bahkan ratusan juta'.
"Saya senang dan bangga (profesi) sinden ini bisa lebih dikenal masyarakat luas, karena ini sebenarnya PR kita untuk mempopulerkan ada profesi cantik lain selain dengan apa yang populer saat ini," kata Sruti Respati saat diwawancarai untuk program Info Musika BBC Indonesia.
Sruti, pesinden mungil berusia 32 tahun, sedang bersiap tampil untuk menyanyi pada sebuah acara kompetisi bakat di salah satu stasiun televisi swasta.
Tampil cantik dengan gelung besar di belakang rambut yang disasak tipis serta kebaya moderen yang memperlihatkan belahan dadanya, Sruti memang tidak menyinden, tapi menurutnya apa yang dilakukannya sejalan dengan ide 'melestarikan budaya sinden dan seni Jawa'.
"Kenapa saya mau terjun sedikit melebar ke sinden yang agak ngepop atau ngejazz karena memang niat saya saya tidak perlu menjadi orang Barat untuk bisa menyanyi jazz atau pop, saya tetap bisa menyanyi diatonis tetapi begitu denger saya orang langsung… ooohh ini orang Jawa", katanya serius.
Lahir dari keluarga yang kental dengan suasana seni Jawa, Sruti mengaku sudah terjun sebagai sinden profesional sejak usia sekolah dasar. Ayahnya, dalang kenamaan Sri Joko Rahardjo asal Klaten, mendudukkannya dan kakaknya Endah Laras, di antara para sinden 'betulan' yang lebih senior dalam pertunjukan wayangnya.
Seperti seniman dari Cina, India atau belahan bumi mana pun tampil dengan ciri tradisi menurut Sruti sangat penting untuk 'mengentalkan jati diri' agar dapat dipandang sebagai bangsa yang besar.
"Paling tidak kita punya karakter sebagai bangsa Indonesia, dalam hal ini Jawa karena Jawa bagian dari Indonesia," tambah ibu beranak satu ini.
Sruti yang juga berstatus sebagai PNS adalah generasi sinden yang kemudian naik daun dan kerap menerima undangan manggung di ibukota.
Seperti Soimah Poncowati, kelahiran Pati Jawa Tengah namun kemudian moncer sebagai entertainer berbasis sinden di Yogyakarta, Sruti juga menggeluti musik lintas aliran (crossover) dalam penjelajahan seninya.
Dalam album Sruti yang yang diproduksi tahun 2010, Sruti bekerja sama dengan sejumlah musisi jazz ternama mulai dari bassist Bintang Indrianto hingga vokalis jazz kenamaan, Margie Segers.
Bintang dan kawan-kawan mendandani Jamuran, lagu klasik yang 40 tahunan lalu biasa dinyanyikan anak-anak di Jawa saat bermain di bawah bulan purnama, menjadi sebuah kolaborasi yang layak telan (palatable) untuk telinga yang asing dengan sejarah lagu itu.
Dalam Cublak-cublak suweng, aransemen ceria dan permainan seksi tiup (horn) yang meriah lebih berhasil mengawinkan suara Sruti dengan ragam instrumen moderen sehingga aura lagu dolanan tempo dulu ini sangat terasa.
Dalam Gambang suling, salah satu lagu berbahasa Jawa paling popular karya empu karawitan Ki Narto Sabdo, Margie Segers memberi aroma khas jazz dalam tubuh aransemen dan Sruti yang menyanyi seperti pakem memberi bobot sehingga kolaborasi ini terdengar berisi.
Tetapi kekuatan utama Sruti, tentu saja, tetap pada keindahan vokalnya saat duduk menyinden dalam bahasa Jawa. Lantunan bowo yang menggugah, lantang dan berkelok-kelok, sulit dipercaya keluar dari seorang yang begitu mungil.
Seperti juga lagu dolanan yang kini jarang dinyanyikan anak-anak desa di Jawa, apakah Sruti khawatir suatu saat sinden akan turut punah?
"Tidak juga, di Solo dan sekitarnya saat ini ada banyak sekali sanggar seni Jawa tempat anak-anak belajar menari-menyanyi, mereka ini yang akan meneruskan generasi sinden atau dalang kelak," katanya penuh harap.
Akan halnya untuk profesi sinden yang kinipopuler, Sruti merasa ada kenaikan perhatian setelah para 'sinden gaul', para penghibur lintas genre seperti Sruti dan Soimah kerap muncul dalam berbagai acara.
"Sekarang banyak sekali yang berminat menjadi sinden, dan itu titik cerah yang baik buat republik ini. Selama seni tradisi masih lestari, berarti jati diri bangsa kita masih bertahan," kata Sruti.
Selain sorotan dunia televisi yang glamor, daya tarik menjadi sinden pasti lah terletak pada tingginya honor menjalani profesi ini. Kabar menyebut seorang pesinden ternama dibayar sampai Rp100 juta untuk tampil selama dua jam saja.
Tingginya animo publik bahkan mendorong Universitas Negeri Semarang menggelar kontes Sinden Idol tahun lalu untuk menjaring sinden-sinden berbakat di Jawa Tengah.
Meskipun begitu menurut Sruti yang bersuami pembalap ini, fokus utama kampanyenya untuk melestarikan profesi sinden dan budaya Jawa tetap ke dalam negeri.
"Kita lihat sendiri; cara orang bicara, berpakaian, memilih tontonan, semuanya memberi penghargaan yang sangat kurang pada local genius."
Sementara di luar negeri, menurut Sruti musik tradisi Indonesia jauh lebih dihargai dan digemari, dipelajari serius di berbagai universitas terkemuka.
Kolaborasi Sruti terbaru, dalam bentuk pementasan teater, akan dipanggungkan oleh sutradara Garin Nugroho di Teater Djakarta pertengahan Maret. Sruti akan bernyanyi dan menari sebagai pemeran utama dalam lanjutan lakon Opera Jawa besutan sutradara ternama itu.