Joey Alexander yang Kian Matang

Author : Administrator | Sunday, January 29, 2017 | -

Pianis muda Indonesia Joey Alexander memberi keterangan pers menjelang konsernya di Jakarta, Kamis (19/5/2016). Joey akan tampil dalam konser pertamanya sebagai artis musik internasional Indonesia bersama Jeff Tain Watts dan Dan Chmielinski pada Minggu (22/5/2016) di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat.

 

JAKARTA, KOMPAS.com -- Setelah menggemparkan dunia musik dengan album pertamanya, My Favorite Things, pianis muda Joey Alexander (13) kembali mengguncang dengan merilis album keduanya, Countdown. 


Album yang dirilis pada September 2016 ini lagi-lagi masuk dalam daftar nominasi Grammy Awards ke-59 sebagai Best Improvised Jazz Solo, bersaing dengan musisi-musisi besar dunia, seperti Ravi Coltrane, Fred Hersch, Brad Mehldau, dan John Scofield. 

Sebelumnya, album My Favorite Things juga dinominasikan untuk Best Jazz Instrumental Album dan Best Improvised Jazz Solo untuk penampilannya di lagu milik John Coltrane, "Giant Steps". 

Meski belum berhasil memboyong Grammy, ini menjadikan Joey sebagai musisi jazz termuda yang pernah dinominasikan dalam Grammy. 

Namanya pun segera meroket, dunia membicarakan dan mengagumi kegeniusannya.

Di album terbarunya, Countdown, yang dirilis bersama Motema Music, Joey bersama bandnya yang terdiri dari Larry Grenadier (bas), Ulysses Owens Jr (drum), dan Dan Chemielinski (kontrabas) menyuguhkan sembilan lagu. 

Tiga di antaranya merupakan gubahan Joey, yaitu "City Lights", "Sunday Waltz", dan "Soul Dreamer". 

Sementara lainnya, "Countdown", "Smile", "Maiden Voyage" (feat Chris Potter), "Criss Cross", "Chelsea Bridge", dan "For Wee Folks", adalah lagu-lagu milik para dedengkot jazz dunia.

Di album ini, Joey tak sekadar menunjukkan kepiawaiannya dalam meracik ulang atau mengimprovisasi lagu-lagu milik para dedengkot musik jazz, seperti John Coltrane ("Countdown"), Herbie Hancock ("Maiden Voyage"), dan Thelonious Monk ("Criss Cross"). 

Joey juga tak ragu menggandeng musisi-musisi besar, seperti pemain bas Larry Grenadier yang biasa bermain bersama Pet Metheny dan Brad Mehldau serta pemain saksofon Chris Potter yang biasa berkolaborasi dengan Dave Douglas dan Dave Holland.

Ini tentu menunjukkan betapa tak main-mainnya Joey melakoni kariernya di dunia musik, khususnya jazz. 

Dengan keseriusannya itu, Countdown menjadi bukti kepiawaian dan makin matangnya Joey dalam bermusik.

Album ini juga sekaligus menunjukkan begitu luasnya cita rasa bermusik Joey. 

Simaklah bagaimana kadang dia menyuguhkan teknik tinggi dengan tempo cepat, namun kadang dia juga menyajikan permainan piano dengan tempo perlahan yang membuai rasa, seperti pada lagu "Smile". 

Simak pula "Countdown" yang menjadi begitu amat berbeda di tangan Joey.

"City Lights" yang disajikan dengan tempo sedang adalah lagu tentang New York yang kini menjadi tempat tinggalnya sejak dia pindah ke kota ini bersama kedua orangtuanya dari Indonesia. 

Di lagu yang catchy ini terdengar pengaruh Chick Corea yang cukup kental. Juga pengaruh pianis Latin, Michael Camilo. 

Namun, sentuhan personal Joey tetap terasa. Serupa energi muda yang segar, namun menyala-nyala.

"Aku hanya mengeksplorasi chord-chord dan melodi. Lalu tiba-tiba ide-ide ini muncul. Ayahkulah yang biasanya akan merekamnya sehingga aku bisa mengingatnya," kata Joey dalam wawancara dengan The Guardian.

Setelah itu, Joey biasanya akan kembali mendengarkan dan memperbaiki hasil eksplorasinya itu. 

Dia biasanya menghabiskan waktu hingga sekitar satu bulan untuk setiap lagu.

"Soul Dreamer" adalah lagu pertama yang ditulis Joey saat berusia 10 tahun. Padahal, Joey baru mulai belajar bermain piano dan memahami jazz di usia enam tahun. 

Dua tahun kemudian, di usia delapan tahun, UNESCO mengundangnya bermain piano solo untuk Herbie Hancock selama kunjungannya ke Indonesia.

Di usianya yang ke-9, Joey memenangi hadiah utama Master-Jam Fest, menyingkirkan 200 pesaing dari 17 negara. 

Ia juga tampil di berbagai festival jazz di Jakarta, Copenhagen, serta Amerika Serikat dalam Jazz at Lincoln Center Rose Hall dan Jazz Foundation of America di Apollo dan Arthur Ashe Learning Center.

Untuk mengembangkan bakat Joey, orangtuanya, Denny Sila dan Farah Urbach, menjual bisnis keluarga dan pindah ke Amerika. 

Ia telah tampil di Amerika Serikat dan seluruh dunia, termasuk tur di Tel Aviv, Marciac, Montreal, Abu Dhabi, Singapura, Bern, Praha, Vienna, Perugia, dan tentu saja Indonesia.

Selain masuk dalam dua daftar nominasi Grammy Award untuk Best Jazz Instrumental Album dan Best Improvised Jazz Solo untuk penampilannya dalam "Giant Steps" di album My Favorite Things, Joey juga diundang tampil di perhelatan Grammy Awards ke-58 tahun lalu. 

Tak hanya mendapat standing ovation dari para bintang ternama, penampilannya itu juga segera menjadikan Joey buah bibir di mana-mana.

Kini, dengan kematangannya bermusik seperti yang disuguhkan di album Countdown, bukan tak mungkin Joey akan menjadi bintang di ajang Grammy ke-59 yang akan digelar pada 12 Februari mendatang. Kita tunggu. (Dwi AS Setianingsih)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2017, di halaman 22 dengan judul "Joey Alexander yang Kian Matang".

Editor : Ati Kamil
Sumber : Harian Kompas,
 
Harvested from: http://entertainment.kompas.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: