Aktivis Mahasiswa UMM Diminta Jadi Insan Spiritual

Author : Humas | Sabtu, 17 Juni 2017 09:47 WIB
Kepala PSIF UMM Dr Pradana Boy ZTF MA saat memberi materi pada Kajian Ramadhan bagi aktivis mahasiswa UMM.

RATUSAN aktivis mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), maupun Lembaga Semi Otonom (LSO) di lingkungan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengikuti Kajian Ramadhan 1438H di hall dome UMM, Kamis (15/6).

Kepala biro kemahasiswaan, Drs Abdullah Masmuh MSi dalam sambutannya menyatakan, ada tiga tujuan diadakannya kajian untuk para aktivis. Kajian ini sebagai pengejawantahan agar aktivis memiliki nilai spiritual dan tangguh dalam menjalankan amanahnya sebagai pemimpin mahasiswa. Kedua, kajian ini menjadi momentum meningkatkan kesadaran beragama, keimanan, dan ketaqwaan. Ketiga, memperkaya tradisi kajian Al-Quran dan khazanah keilmuan klasik dan kontemporer.

Hadir sebagai pemateri tentang “Al-Quran sebagai Landasan Etik Pengembangan Sains menuju Tafsir Kontekstual”, Dr M Nurhakim MAg menyatakan Al-Quran harus menjadi sumber inspirasi aktivis dalam menjalankan roda kepemimpinan dan kegiatan kemahasiswaan. “Aktivis yang menjadi pemimpin di kalangan mahasiswa harus menjadikan Al-Quran sebagai pedoman. Karena Al-Quran hadir sebagai petunjuk dan nasehat bagi manusia,” ujar asisten koordinator bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) ini.

Sementara itu, materi kedua disampaikan oleh kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF), Pradana Boy ZTF, Ph D bertema “Muhammadiyah sebagai Doktrin dan Tantangan Masa Depan”. Boy menuturkan, tidak semua mahasiswa berideologi Muhammadiyah. Namun, pengajaran nilai-nilai Muhammadiyah di kampus putih menjadi hal yang mutlak di mata Boy. “Mahasiswa yang sadar lalu berMuhammadiyah melalui AIK itu adalah bonus. Tapi, kalau mahasiswa UMM tidak memiliki wawasan tentang keMuhammadiyahan dan organisasi-organisasi teknis Muhammadiyah, ini bencana,” terang Boy.

Dalam paparannya, Boy menegaskan, Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi seringkali dihubungkan sangat dekat dengan radikalisme. Namun, ada dimensi yang menjaga Muhammadiyah tetap  pada garisnya, yakni rasionalisasi. “Sekuat apapun arus radikalisme, jika masih berMuhammadiyah, maka mahasiswa tak akan terseret arus menjadi radikal, karena memegang erat rasionalisasi.

Oleh karenanya, baik Boy maupun Nurhakim menekankan, dewasa ini banyak orang memegang keyakinan pada identitas atau organisasi melebihi keyakinan akan Islam. Sebagai aktivis yang berbeda organisasi dan latar belakang pemikiran, perbedaan fiqih dan keyakinan mestinya tak lantas menciptakan keretakan antarmahasiswa. Wawasan akan latar belakang mengapa tiap manusia berbeda menjadi wawasan yang harus dimiliki aktivis. Pasalnya, dengan memahami alasan perbedaan tiap individu, maka perbedaan akan menjadi hal yang disepakati bersama dan dihargai.

“Mahasiswa aktivis itu berilmu. Orang yang berilmu mesti membuat orang berhati lembut. Kalau berilmu tapi belum memiliki hati lembut, berarti belum berilmu yang sesungguhnya,” pungkas  Boy berpesan. (ich/han)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image