Rapat Koordinasi Nasional APTIKOM di UMM (Foto : Rino Humas) |
Untuk menjadi maju, tidak perlu mengikuti negara-negara yang sudah maju. Namun harus menemukan cara yang tepat dengan memaksimalkan kekuatan dan potensi sendiri. Cara itu juga yang dilakukan sederet negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Jerman. Hal itu dikemukakan Ketua Umum Ikatan Pengguna Komputer Indonesia (IPKIN) Prof. Dr. Ir. Eko Kuswardono Budiardjo, M.Sc. dalam materinya. Adapun ia menjadi pemantik dalam agenda rapat koordinasi Nasional (Rakornas) Asosiasi Pendidikan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM) yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 7 Desember lalu.
“Ada beberapa tahap yang bisa dilakukan. Tahapan pertama yakni kesadaran akan perlunya mendayagunakan teknologi. Kemudian memberikan literasi digital sleuas-luasnya sheingga semua orang dapat memanfaatkan teknologi digital secara tepat,” tambahnya.
Baca juga : PPG UMM Luluskan 468 Guru, Siapkan Hadapi Era Society 5.0.
Tahapan yang ketiga yakni kompeten atau mahir dalam mendayagunakan teknologi. Bentuknya bisa melalui sertifikasi lembaga sertifikasi profesi (LSP) di bawah naungan badan nasionl sertifikasi profesi (BNSP). Gunanya untuk mendeskripsikan bahwa orang tersebut memang benar-benar kompeten di bidangnya.
Kemudian yang keempat, sumber daya manusia menjadi inovator. Hal ini melalui proses inovasi yang dilakukan oleh kegiatan di industri maupun perguruan tinggi. Hingga akhirnya menuju tahapan kelima, yakni creator. Di sinilah ekonomi kita akan bertumbuh secara pesat karena mampu menceiptakan produk yang bermanfaat.
“Perlu diketahui bahwa Indonesia telah memiliki peta okupasi yang mulai disusun tahun pada 2017 dan mulai di gunakan pada tahun 2018. Oleh karena itu, di empat bulan terakhir tahun 2023, dilakukan kegiatan pemutakhiran oleh Kominfo,” ucapnya.
Baca juga : Belum Setahun Berdiri, Pojok Statistik UMM Raih Penghargaan dari BPS Nasional
Sebagai informasi, pemutakhiran ini akan berakhir di ujung bulan Desember 2023 dan rencananya akan mulai dipergunakan pada tahun 2024. Eko merasa ini akan menjadi suatu tantangan tersendiri bagi orang-orang yang mengembangkan kurikulum Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI).
Di sisi lain, Dr. Ir. Yaya Heryadi, M.Sc., CDS., CDRAI selaku Komite Skema Sertifikasi LSP Informatika mengatakan, muncul dampak positif dan negatif dari berkembangnya Artificial Intellegent (AI). Positifnya, ada banyak orang yang membagikan ilmu pengetahuan dan dapat diakses dengan mudah. Namun, di sisi lain ini menjadi tantangan besar.
“Terdapat ilmu-ilmu yang tidak terkontrol terkait benar salahnya. Hal ini berakibat fatal dan dapat membahayakan industri. Karena industri digital akan sangat mudah jatuh jika para ahli atau pegawainya membuat kesalahan-kesalahan walaupun kecil,” jelas Yaya.
Bahkan, industri jadi kurang percaya dengan lulusan universitas. Sebab banyak output yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Sampai-sampai mereka rela habis milyaran untuk sekadar meyakinkan inputnya sesuai dengan kebutuhannya. Di sinilah SKKNI dibutuhkan, yang mana peserta sertifikasi benar-benar diuji melalui kasus dan pemahaman yang mendalam. Sehingga apabila ia telah lulus sertifikasi kompetensi tersebut, maka artinya ia benar-benar berkompeten dibidangnya.
Yaya menyarankan untuk meleburkan SKKNI ke kurikulum. Jika tidak, mungkin akan ada beberapa konsekuensi yang biasanya terjadi. Pertama, adanya kurikulum tapi tidak sinkron dengan kebutuhan industri. Kedua, tidak sesuai dengan standar nasional. Ketiga, kesulitan dalam pengakuan kompetensi. Keempat, kurang keterlibatan stakeholder. Kelima, keterbatasan daya saing lulusan. Keenam, kurangnya fleksibilitas dalam mendukung pembaruan.
“Update kurikulum itu tidak gampang dan cukup tricky. Namun perlu diingat bahwa sertifikasi kompetensi menjadi salah satu solusi untuk meyakinkan bahwa lulusan kita telah memenuhi standar profesional,” katanya mengakhiri. (*dev/wil)