Rektor UMM Dr. Fauzan, M.Pd menyematkan gordon Guru Besar kepada Prof. Akhsanul In'am, Ph.D. (Foto: Rino/Humas) |
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) punya guru besar baru. Kali ini, pada Sabtu (28/12), UMM mengukuhkan Prof. Akhsanul In’am, Ph.D. sebagai guru besar Bidang Ilmu Pendidikan Matematika. Dalam orasinya, direktur Pascasarjana UMM ini mengusung pemikiran Imam Al Ghozali tentang pengelompokan manusia menjadi empat golongan, atau dalam istilah lain dikenal sebagai konsep Metakognitif Al Ghozali.
Yakni 1. Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (orang yang tahu, dan dia tahu kalau dirinya tahu);2. Rojulun La Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (orang yang tidak tahu dan mengetahui bahwa ia tidak tahu); 3. Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (orang yang tahu, tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu), dan; 4. Rojulun La Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (orang yang tidak tahu dan tidak mengetahui bahwa ia tidak tahu).
“Memperhatikan keempat kelompok manusia tersebut dapat dikatakan bahwa kelompok pertama dan kedua merupakan kelompok yang dapat ditingkatkan kualitas hubungan vertikal dan horizontal. Mereka termasuk kelompok yang mau menyadari kalau dirinya tahu tentang sesuatu dan juga menyadari mengenai ketidaktahuannya, dalam istilah lain dikatakan dengan metakognitif,” ungkap Direktur Pascasarjana UMM ini.
Metakognitif, disambung suami dari Dra. Siti Hajar, M.Pd ini, mempunyai peran sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. “Seorang peserta didik yang menyadari dirinya sedang belajar, faham dengan yang dipelajari, sadar apa yang belum diketahuinya, dan berpikir tentang sesuatu, merupakan faktor yang sangat berperan terhadap keberhasilan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar,” terangnya.
Baca juga: Mobil KaCa UMM Giatkan Literasi Bersama Preman Mengajar di Jabung
Berkenaan dengan pembelajaran, dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah usaha peserta didik mempelajari sesuatu materi sebagai konsekuensi dari pengajaran guru. Pembelajaran merupakan aktivitas guru melaksanakan tugas menyampaikan materi kepada peserta didik sesuai dengan perencanaan yang telah dirancang. Pembelajaran bukan hanya proses menyampaikan ilmu pengetahuan oleh guru kepada peserta didik.
“Namun peran guru adalah mengenal kemampuan dan potensi yang dimilikinya dan berusaha untuk mengembangkannya,” tegas In’am. Hal ini didasarkan kepada tiga hal: Pertama, peserta didik adalah manusia yang sedang berkembang. Kedua, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Serta ketiga, penemuan baru terkait dengan konsep perubahan perilaku manusia,” terang pria kelahiran Kediri, 10 Agustus 1964 ini.
Memperhatikan hal itu, katanya, terdapat 4 hal yang hendaknya perlu diperhatikan dan diperhitungkan dalam pelaksanaan pembelajaran, yaitu strategi, pendekatan, metode dan prosedur pembelajaran. Keempat hal tersebut mempunyai peran yang sangat berarti untuk membantu peserta didik memahami materi yang dipelajarinya. Juga secara bersama merupakan aspek-aspek dalam pelaksanaan pembelajaran.
Dari hal ini, usaha untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran, khususnya Matematika, dapat dikemukakan bahwa faktor pertama dan utama adalah guru, baik berkenaan dengan kemampuan penguasaan materi serta penyampaiannya. “Berkaitan dengan penyampaian materi, efektivitas pembelajaran dapat terwujud dengan baik melalui penggunaan pendekatan metakognitif Imam Ghozali,” beber In’am.
Baca juga: PPG UMM Luluskan 331 Guru Profesional
“Yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa metakognitif telah dikemukakan lebih terdahulu oleh al Ghozali sebagaimana diuraikan tadi. Melalui pemikiran al Ghozali, dalam pelaksanaan pembelajaran, khususnya pada bidang pembelajaran Matematika dapat diinisiasi melalui aksi dengan mengimplementasi kelompok pertama dan kedua, sehingga pembelajaran Matematika menjadi kondusif dan efektif,” tandas In’am.
Rektor UMM Dr. Fauzan, M.Pd menyebut orasi yang disampaikan In’am sebagai tanda peneguhan, sekaligus pengukuhan dalam bidang pendidikan Matematika. Prof. In’am tercatat sebagai guru besar yang kedua di FKIP serta ke 21 guru besar di tingkat universitas. “Dengan demikian, saya sebagai pimpinan UMM menyampaikan ucapan selamat atas jabatan akademik tertinggi yang di raih Prof. In’am ini,” tuturnya.
Hingga akhir tahun 90-an atau 2000-an, lanjut Fauzan, pelajaran Matematika masih menjadi barang yang menakutkan dan sekaligus menyebalkan. Bahkan stigma buruk itu telah menghinggapi banyak orang. Hal ini akibat konsep belajar Matematika yang tidak ramah lingkungan. “Artinya, Matematika diajarkan hanya secara parsial dan eksklusif, tanpa mempertimbangkan fungsinya dalam kehidupan yang nyata,” sebut Fauzan.
Stigma Matematika itu semakin buruk setelah guru Matematika pun sulit senyum dan cenderung asosial. Akan tetapi sejak Frudental mengembangkan konsep pembelajaran Matematika Realistic di era tahun 70-an, saat itu pulalah guru Matematika mau tersenyum. Apa yang disampaikan In’am, kata Fauzan, telah mengambil realitas kehidupan sebagai basis untuk menerjemahkan bagamaina sebenarnya Matematika itu.
Baca juga: Mahasiswa UMM Buat Aplikasi Agar Masyarakat Melek Obat-obatan
Sehingga Matematika tidak berada pada ruang kosong, tetapi Matematika telah hidup di alam bersama kita. Dan memang senyatanyalah dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat luput dari praktek Matematikasasi. Inilah yang akhirnya dikembangkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Ia didekonstruksi menjadi seperangkat ilmu yang turut bertanggungjawab atas keberlangsungan peradaban manusia yang humanis.
Dalam konteks inilah para pengajar Matematika dituntut untuk berjuang membangun logika yang didasarkan atas realitas kehidupan secara empiris dan komprehensif. “Jadi saya kira apa yang disampaikan Prof. In’am, jika diimplementasikan dalam sebuah pembelajaran itu sangat luar biasa, Dan spiritualisasi pembelajaran Matematika sebagai upaya penguatan praktek pembelajaran Matematika agar lebih simplifis dan fungsional.
Sementara itu, sejalan dengan Fauzan, Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dr. Saad Ibrahim MA menyebut dalam sambutannya bahwa Imam Al Ghozali menempatkan Matematika sebagai simbol tertinggi pikiran rasional, dengan berpegang pada wahyu dan intuisi. “Matematika bukan soal angka, namun juga ada sisi humanis, basis dimensi perwujudan dalam keseharian,” tandasnya. (mir/can)