Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos, . M.Si. (Foto: Syifa Humas) |
Citayam Fashion Week menjadi perbincangan yang hangat di kalangan pengguna sosial media akhir-akhir ini. Fenomena mengenai para remaja berpakaian nyentrik yang memadati kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat ini bahkan menarik minat media internasional seperti Tokyo Fashion. Melihat hal itu, Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos, . M.Si, memberikan penjelasannya.
Luluk mengatakan bahwa kepopuleran tersebut menuai banyak pro dan kontra. Sebagian masyarakat mengapresiasi cara kreatif para remaja mengekspresikan diri melalui fashion. Sebagian lainnya menilai bahwa aksi para remaja ini mengganggu dan membuat kumuh kawasan Sudirman. Menurutnya, Citayam Fashion Week merupakan fenomena yang wajar. Hal ini didasarkan pada naluri manusia sebagai makluk sosial untuk membentuk kelompok sesuai karakteristik dan tujuan tertentu.
“Komunitas ini terbentuk oleh beberapa anak muda yang tingggal di daerah Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Sebagai daerah penyangga ibu kota para anak muda ini memiliki kreativitas yang lebih di bidang fashion. Saya melihat bahwa keberadaan Citayam Fashion Week ini merupakan sarana para anak muda untuk mengungkapkan diri mereka secara jujur melalui sebuah fashion,” ungkap Kepala Program Studi (Kaprodi) Sosiologi tersebut.
Selain perkembangan tren fashion, Luluk sapaan akrabnya menjelaskan bahwa perkembangan sosial media juga turut mempengaruhi keberadaan tren ini, utamanya TikTok. Para remaja di Citayam Fashion Week ini memanfaatkan sosial media untuk menjadi terkenal dan mendapatkan uang. Hal ini juga melahirkan banyak seleb Instagram dan seleb TikTok seperti Jeje, Bonge, Kurma, Roy,dan lainnya.
“Masifnya keberadaan sosial media mempengarui cara para remaja untuk berkreasi dan Citayam Fahion Week menjadi wadah baru untuk mereka. Selain itu, dengan munculnya komunitas ini juga menjadi sebuah wacana baru bahwa fashion yang selama ini identik dengan kalangan atas, juga bisa dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah,” kata Luluk.
Lebih lanjut, Luluk menjabarkan beberapa dampak positif lain dari kemunculan tren ini yaitu para remaja menjadi lebih memahami kehidupan bersosial. Kreatifitas para remaja sebagai content creator di media sosial juga meningkat. Selain itu, keberadaan para remaja ini juga meningkatkan penghasilan para Pedangan Kali Lima (PKL) yang berada di sekitar Sudirman.
“Selain dampak positif, tentu saja hal ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif seperti budaya buang sampah sembarangan dan cara berpakaian yg dinilai terlalu terbuka,” ujar dosen kelahiran Jombang itu.
Luluk menjelaskan bahwa untuk melakukan pengurangan dampak negatif, perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemerintah. Hal-hal yang bisa di lakukan adalah dengan mengedukasi, mengarahkan, dan pendampingan kepada para remaja agar komunitas ini tetap berlangsung namun dengan minim dampak buruk.
“Secara keseluruhan saya memandang bahwa tren ini sebagai hal yang positif. Saya berharap Citayam Fashion Week dapat menjadi komunitas yang dikenal secara positif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Internasional. Saya juga berharap komunitas ini dapat menunjukkan sebuah budaya fashion baru yang memiliki karakter sendiri,” pungkasnya mengakhiri. (Syi/Wil)