Fenomena mudik yang telah lama dilakukan oleh sebagain besar masyarakat Indonesia. (Foto: Syifa Humas) |
Mudik nyatanya telah lama dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Utamanya ketika menjelang hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Meski rutinitas tersebut sempat dilarang pada tahun 2020 dan 2021 karena pandemi, kini pemerintah sudah memperbolehkannya. Memberikan kelonggaran bagi masyarakat untuk memungkinan mudik ke kampung halaman.
Dosen Sosiologi UMM, Mochamad Aan Sugiharto, M.Sosio, menjelaskan bahwa fenomena mudik ini muncul seiring proses urbanisasi masyarakat Indonesia. Banyaknya masyarakat usia produktif yang menimba ilmu maupun bekerja di kota-kota besar membuat momen libur lebaran menjadi kesempatan emas. Dalam hal ini kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga.
“Sebenarnya tidak ada data pasti kapan pertama kali fenomena mudik ini muncul. Namun melihat fakta bahwa mudik itu adalah suatu kondisi berpindahnya orang-orang yang kota ke desa untuk sementara waktu, maka hipotesanya adalah mudik mulai muncul seiring dengan banyaknya proses urbanisasi,” jelas kepala Laboratorium Sosiologi tersebut.
Tak hanya untuk mempererat tali silaturahmi, Aan sapaan akrabnya, mengatakan bahwa mudik juga berfungsi untuk merekatkan kembali hubungan emosional antar individu. Dalam sosiologi, hal ini penting karena terjalinnya hubungan antar individu dapat mempererat solidaritas.
“Solidaritas di masyarakat secara umum terbagi menjadi dua yaitu mekanis dan organis. Masyarakat kota itu tergolong bersolidaritas organis. Interaksi yang dibangun dalam keseharian cenderung karena kebutuhan. Sementara itu, masyarakat desa golong bersolidaritas mekanis. Interaksi dari solidaritas ini adalah keseharian yang cenderung kekeluargaan. Namun, saat ini mulai banyak masyarakat kota yang ingin menerapkan konsep kekeluargaan dalam setiap interaksinya. Oleh karenanya, mudik dapat memperkuat konsep tersebut,” ungkapnya.
Selain dampak positif, mudik juga membawa beberapa dampak negatif. Mudik selalu identik dengan perjalanan panjang, lama, dan melelahkan yang terjadi karena kepadatan lalu lintas. Mobilisasi masyarakat secara besar-besaran menggunakan kendaraan pribadi menjelang hari raya menyebabkan masalah baru yaitu kemacetan.
“Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa masyarakat Indonesia tidak menggunakan tranportasi umum. Pertama, konektivitas sarana prasarana angkutan umum tidak menjangkau sampai ke pelosok desa. Stasiun ataupun terminal letaknya selalu di kota yang jauh dari tempat tinggal pemudik. Kedua, keterbatasan tiket dan waktu keberangkatan, di mana mayoritas pemudik adalah pekerja maupun karyawan yang waktu liburnya biasanya mendekati hari H. Sementara tiket biasanya tersedia jauh sebelum atau sesudah hari H,” jelas Aan.
Terakhir, yaitu faktor aktualisasi diri. Menurut Aan, Pemudik biasanya cenderung ingin memberitahu kepada keluarga dan tetangga bahwa mereka sukses mengadu nasib di kota. Salah satunya dengan cara pulang dan membawa kendaraan pribadi ataupun simbol yang memperlihatkan kesuksesan mereka. (syi/wil)
Penulis: Syifa Dzahabiyyah | Editor: Hassanalwildan Ahmad Zain