Dosen UMM: Indonesia Perlu Regulasi Karya Seni Buatan AI

Author : Humas | Senin, 15 Juli 2024 13:45 WIB
Sofyan Arief, S.H., M.Kn. (Foto : Laili Humas).

Belakangan ini, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) mengalami perkembangan yang cukup pesat, termasuk dalam bidang seni visual. Teknologi ini memungkinkan sistem komputer untuk melakukan pekerjaan layaknya manusia, termasuk menciptakan karya seni berdasarkan perintah yang diberikan. Namun, bagaimana perlindungan hak cipta terhadap karya yang dihasilkan oleh AI?

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sofyan Arief, S.H., M.Kn., mengatakan bahwa karya AI memiliki perbedaan dengan karya dari ilustrator manusia. Perbedaan mendasar tentang hak cipta tersebut terletak pada subjek hukumnya. 

Baca juga : Alumnus UMM Bekerja di BRIN, Begini Kisahnya

“Di Indonesia, saat ini belum ada aturan khusus yang menetapkan AI sebagai subjek hukum. Oleh karena itu, AI belum bisa menjadi subjek hukum yang memiliki hak cipta. Sebaliknya, ilustrator manusia secara jelas diakui sebagai subjek hukum yang berhak atas karya cipta mereka berdasarkan prinsip orisinalitas,” tanggapnya. 

Sayangnya, Indonesia belum memiliki regulasi khusus untuk mengatur Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bagi karya yang dihasilkan oleh AI seperti beberapa negara lain di dunia. Padahal menurutnya, regulasi ini penting untuk memberikan kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas karya yang dihasilkan oleh AI dan bagaimana perlindungan hak ciptanya.

“Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hak cipta seharusnya melekat pada AI itu sendiri. Sementara, yang lain berpendapat bahwa hak cipta tersebut seharusnya diberikan kepada pencipta AI baik programmer atau pengembang,” tambahnya.

Baca juga : Mahasiswa UMM Sulap Limbah Kulit Jeruk Jadi Briket yang Bernilai

Meski saat ini belum ada perlindungan hukum yang jelas untuk karya AI di Indonesia, potensi untuk pengaturan tersebut tetap ada. Tantangan utamanya di Indonesia adalah menentukan siapa yang menjadi subjek hukum yang berhak atas karya yang dihasilkan oleh AI. 

Lebih lanjut, dalam sistem hukum Indonesia, hak atas benda atau karya hanya bisa dimiliki oleh subjek hukum yang diakui secara sah. Oleh karena itu, tanpa adanya pengaturan yang jelas, AI tidak bisa dianggap sebagai subjek hukum yang memiliki hak cipta. Sofyan pun menyarankan bahwa penggunaan AI sebaiknya tidak sepenuhnya untuk menciptakan karya secara mandiri. 

“Penggunaan AI sebaiknya lebih sebagai alat pendukung bagi manusia dalam menciptakan karya. Dengan demikian, hak cipta tetap bisa diberikan kepada individu atau entitas yang menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pencipta utama. Meskipun AI memiliki potensi besar dalam dunia kreatif, regulasi yang jelas dan adil sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak cipta dan HKI lainnya dapat dilindungi dengan baik di era digital ini,” tandasnya. (lai/wil)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image