Uun Zulfiana, M.Psi selaku Psikolog dan juga dosen Psikologi UMM (Foto : Istimewa) |
Akhir-akhir ini banyak kasus terjadi, mulai dari penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Hal tersebut mengakibatkan korban mengalami trauma yang berkaitan dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Menurut Uun Zulfiana, M.Psi selaku Psikolog dan juga dosen Psikologi Universitas Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), PTSD adalah gangguan jiwa yang cukup ekstrim. Penyebabnya adalah rasa trauma yang besar, bukan hanya stressor atau problem kecil saja.
“Namun seseorang tidak bisa serta merta dikatakan menderita PTSD jika tidak sesuai dengan gejalanya dan mengalami secara konsisten selama satu bulan atau lebih,” ujar Uun, panggilan akrabnya.
Terdapat empat kategori gejala yang dialami oleh penderita PTSD yang akan muncul secara konsisten dan resisten minimal selama satu bulan atau lebih. Pertama, intrusif yakni gejala yang berhubungan dengan ingatan dan pikiran yang traumatis tanpa disadari. Misalnya saat diam tiba-tiba teringat peristiwa buruk yang pernah dialami. Kedua, penghindaran terhadap kognitif pikiran dan perilaku. Misalnya ketika ada keluarga atau orang terdekat yang mengalami kecelakaan sampai meninggal saat hujan dan menggunakan kendaraan tertentu. Orang PTSD cenderung akan menghindari hujan dan kendaraan yang mirip seperti peristiwa tersebut.
Baca juga : Gen Z Sulit Beli Rumah? Begini Kata Dosen Manajemen UMM
Ketiga, perubahan negatif dalam pikiran atau suasana hati. Orang dengan PTSD akan lebih mudah marah atau takut saat mengingat sesuatu. Bahkan ekstrimnya, mereka bisa menyalahkan diri sendiri. Terakhir, adalah perubahan gairah atau reaktivitas seperti sulit berkonsentrasi, respon kejut, kesulitan tidur dan sebagainya.
“Tentu gangguan jiwa seperti PTSD bisa muncul karena adanya penyebab. Jelas penyebab utamanya adalah kejadian traumatik, baik yang dialami sendiri atau orang lain yang ia saksikan dan berdampak pada dirinya,” jelasnya.
PTSD bisa semakin parah jika ditambah dengan faktor resiko. Misalnya kurangnya dukungan sosial, sudah mempunyai riwayat trauma dan penyakit mental sebelumnya serta penggunaan zat aditif. Jika sudah mengetahui penyebanya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan intervensi atau pengobatan.
Pengobatan yang harus dilakukan adalah dengan melakukan psikoterapi ke psikiater melalui cara seperti Cognitive behavioural Therapy (CBT). Yaitu mengubah pola pikirnya dan menerapkan pada perilaku. Bisa juga dengan terapi eksposur, yaitu terapi behavioral di mana subjek dihadapkan secara langsung atau bertahap dengan ketakutan dan trauma yang dialami.
Baca juga : Ramai Kasus Salah Tangkap, Begini Kata Dosen FH UMM
Setelah pasien menerima pengobatan dan telah dinyatakan sebagai eks pasien, maka perlu ada beberapa hal agar gejala tidak kambuh kembali. Pertama, harus ada motivasi eksternal seperti supporting system orang terdekat yang paham dengan keadaan eks pasien. Saat sudah mulai ada situasi atau indikasi yang mengarah pada trauma, maka orang terdekatnya harus mendampingi agar tidak merasa sendiri. Kedua, eks pasien harus melakukan latihan kewaspadaan, misalnya melatih kemampuan awareness terhadap dirinya saat merasa ketakutan atas traumanya. Di situlah dia dilatih agar tidak mudah terpengaruh oleh ketakutannya.
“Terakhir yang penting dan harus selalu diingat bagi pasien atau eks pasien, yakni menjauhi konsumsi alkohol dan zat adiktif,” pungkasnya. (dit/wil)