Fresh Ijtihad CMM UMM untuk Tuntaskan Persoalan Kebangsaan
Author : Humas | Sabtu, 07 Maret 2020 12:34 WIB
|
Nazaruddin Malik bersama Haedar Nashir di acara Kolokium Nasional. (Foto: Istimewa) |
Perubahan sosial di Indonesia terlalu berlangsung cepat, terutama perubahan tren keagamaan, dan apa yang Muhammadiyah bisa lakukan atasnya. Ada pertanyaan besar, yakni bagaimana memadukan akal dan kalbu sebagai kekuatan untuk melakukan penetrasi terhadap kehidupan keberagamaan.
“Bagaimana cara kita menerjemahkan semangat pencerahan itu pada dimensi ekonomi-politik?” demikian Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Nazaruddin Malik bertanya saat membuka diskusi bertajuk “Fresh Ijtihad dari Muhammadiyah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan”.
Dr. Nazaruddin Malik dipanel seorang filsuf, ilmuwan, pakar hermeneutika dan cendekiawan muslim Indonesia Prof. M. Amin Abdullah pada gelaran Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah di Sengkaling Convention Hall UMM, Jumat (6/3).
Menurut Nazaruddin, Muhammadiyah belum punya rumusan untuk melakukan penetrasi ekonomi untuk mengatasi ketimpangan di masyarakat atau memengaruhi kebijakan ekonomi nasional. Memang ada perbincangan tentang bagaimana membangun institusi-institusi ekonomi seperti perbankan syari’ah, tapi tidak ada rumusan strategis untuk menghentikan akumulasi kapital di satu lokasi, sehingga meniadakan kemerataan di tengah umat. Istilah yang dikemukakan Nazaruddin adalah price discrimination.
Menurutnya, peran wasathiyah Muhammadiyah harus diterjemahkan ke dalam konteks nation welfare. Ia mengkhawatirkan kemelempeman majelis-majelis ekonomi dalam menafsirkan pencerahan ekonomi. “Cendekiawan muda harus punya sumbangsih pada rumusan-rumusan strategis tersebut,” tandasnya.
Di sesi kedua, Prof. Dr. M. Amin Abdullah menjelaskan apa itu fresh Ijtihad. “Ijtihad, kan, sudah biasa. Tapi setelah seratus tahun, ijtihad Muhammadiyah tidak terdengar lagi. Maka harus disegarkan,” kata beliau. Ada tiga alasan, menurutnya. Pertama, dunia Islam tampak involutif, yakni terdapat kemunduran-kemunduran dalam keberagamaan. Kedua, dunia Islam juga mengalami stagnansi metodologis. Ketiga, karena dua konteks di atas, harus ada takamul ‘ulum, yakni interdisipliner dalam memahami Islam.
Al-Azhar baru-baru ini mengajak pada tajdid pemikiran, karena dakwah-dakwah digital yang menafikan metodologi dalam memahami Islam. Sementara, menurutnya, hambatan utama dalam tajdid adalah pembagian qat’i dan zanni, sesuatu yang bila umat berkutat di sana hanya akan menimbulkan stagnansi lagi.
“Solusi-solusi yang dirumuskan al-Azhar sudah digarap oleh Muhammadiyah 50 sampai 100 tahun yang lalu, termasuk keputusan tidak mengakui adanya negara agama. Jangan sampai kita yang di sini malah menjadi lebih mundur,” ungkap Amin.
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah, solusi utama adalah kembali membaca literatur dengan telaten. “Tidak ada cara lain. Bila hanya mengandalkan grup-grup Whatsapp, tidak akan ada hasilnya,” tambahnya. Di Indonesia, muwathonah (citizenship) belum selesai karena involutif dan stagnansi itu. Banyak minoritas yang masih menjadi korban, dan persoalan-persoalan lain yang menunjukkan bahwa masyarakat masih berpikir di level lower order of thinking.
Sesi ini diperkuat dengan semangat yang diwariskan oleh para pembicara pada para cendekiawan muda yang hadir dalam Kolokium Nasional ini. Dalam dua puluh tahun ke depan, menurut para pembicara, yang akan mengemban Muhammadiyah dan Negara Indonesia adalah anak-anak muda, bukan yang lain. Karena itulah anak-anak muda Muhammadiyah harus punya kemampuan menelaah literatur secara kuat, juga punya kemampuan multi languages.
“Strategi-strategi yang harus dikeluarkan oleh Muktamar adalah strategi untuk mendukung itu, misalnya, membeasiswai anak-anak muda Muhammadiyah untuk belajar bahasa Arab dan Inggris dan mengirim mereka ke negara-negara berbahasa asing itu selama satu tahun, agar bahasanya kuat,” tandas Amin. (*/Can)
Shared:
Komentar