Penulis buku "Radikalisme Agama di Indonesia" dan "Gerakan Islam Non-Mainstream di Indonesia" Dr Zuly Qodir MSi saat berpose di kantor Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM usai kegiatan Bincang Buku. |
MARAKNYA perilaku beragama yang tidak toleran direspon Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (PSIF UMM) dengan menggelar Bincang Buku, mengkaji dua buku tentang fenomena gerakan Islam di Indonesia, yaitu “Radikalisme Agama di Indonesia” dan “Gerakan Islam Non-Mainstream di Indonesia”.
Kegiatan yang berlangsung pada Senin (19/10) di Aula Masjid AR Fachruddin UMM ini menghadirkan langsung sang penulis yang juga merupakan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Dr Zuly Qodir MSi.
Zuly mengatakan, semakin berkembangnya kehidupan bermasyarakat, makin tinggi pula munculnya Islam radikal dan gerakan Islam non-mainstream di Indonesia. “Radikal itu ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif itu ber-Islam secara kaffah, paripurna.Yang negatif yaitu suatu sikap yang tidak mau menerima pendapat serta pemahaman orang lain,” tutur doktor lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Menurutnya, banyak sekali gerakan-gerakan Islam non-mainstream di Indonesia yang anggotanya sedikit namun bersuara keras, mereka memanfaatkan media yang mereka ciptakan sendiri. Gerakan-gerakan tersebut, tak hanya kuat bertahan di antara gerakan Islam mainstream seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, namun kadangkala juga menganggap kelompoknya yang paling benar dan bermanfaat.
Yang paling disayangkan, kata Zuly, kelompok non-mainstream ini tidak belajar Islam dari ahlinya, yaitu para dosen atau ulama. “Mereka belajar Islam dari google. Tapi suka menghujat kelompok lain yang justru belajar Islam dari sumber yang lebih otentik dan ilmiah,” terang Zuly.
Terlebih, Zuly menilai, belakangan ini Malang telah menjadi kota yang eksotik bagi gerakan radikal. Hal itu, lanjutnya, dibuktikan dengan sejumlah temuan oleh Densus 88 maupun para peneliti asing. Bagi Zuly, Malang bisa saja menjadi pusat gerakan radikal seperti kota Solo yang menjadi objek penelitiannya dalam salah satu buku yang ditulisnya.
“Di buku saya, saya memaparkan hasil penelitian saya terkait kelompok gerakan non-mainstream di Solo dan fenomena Islam politik pada pemilu 2014,” tutur Zuly yang telah menulis lebih dari 15 buku tentang fenomena keberagamaan ini. Menurutnya, saat ini banyak kegiatan keagamaan Islam yang di belakangnya ada kepentingan-kepentingan politik dari pihak tertentu.
Mengamini hal tersebut, kepala PSIF UMM yang juga menjadi pembicara pada kegiatan ini, Pradana Boy MA(AS) PhD mengatakan, Malang telah menjadi daerah yang potensial bagi kelompok-kelompok Islam yang tidak toleran. Hal itu misalnya, kata Pradana, dapat dilihat dari ditemukannya aktor intelektual Bom Bali Azahari bin Husin pada 2005 di kota Batu (bagian dari Malang Raya), juga tertangkapnya tiga terduga anggota ISIS di Malang baru-baru ini.
Bagi Pradana, kegiatan Bincang Buku ini amat penting agar masyarakat, khususnya masyarakat kampus memiliki pemahaman beragama yang tidak sempit. “Sekarang ini banyak kelompok Islam yang merasa berhak menjadi juru bicara agama, merasa bahwa pendapatnya yang paling benar. Itu adalah bentuk lain dari radikalisme, yaitu mamaksakan pendapatnya sendiri. Padahal, perbedaan tafsir dan cara pandang adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan, karena kita hidup dengan jarak lebih dari 1400 tahun dari era Nabi Muhammad,” papar doktor lulusan National University of Singapore ini.
Setiap bulannya, kata Pradana, PSIF UMM rutin mengadakan kajian Islam dengan ragam jenis acara mulai dari seminar, bedah buku, hingga bedah hasil penelitian. Hal itu lantaran, menurutnya, wacana Islam non-mainstream belum banyak diperbincangkan dalam ruang akademik, padahal literasi dan moderasi pemahaman keagamaan merupakan hal yang mutlak diperlukan.“Agar kita tidak terjebak dalam absolutisme dalam beragama,” tandasnya.
Para peserta yang sebagian besar mahasiswa mengaku senang mengikuti acara tersebut karena pemahaman mereka seputar radikalisme agama dan gerakan Islam non-mainstream di Indonesia kian meningkat. “Bermanfaat sekali, jadi lebih berhati-hati untuk tidak terjerumus dalam kelompok gerakan Islam non-mainstream yang radikal,” ungkap Nuril, mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM. (fid/han)