Salah satu dosen UMM, Hasnan Bchtiar memaparkan penjelasannya (Foto : Istimewa) |
Merespon isu pendidikan dan spiritualitas di masa pandemi serta pascapandemi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) gelar The International Conference on Education (ICEdu), akhir September lalu. Kegiatan ini mengundang berbagai elemen masyarakat untuk berdiskusi seperti peneliti, pakar, dan praktisi dari akademisi, pemerintah, LSM, lembaga penelitian, dan industri.
Membuka konferensi, Wakil Rektor I UMM Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si. menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar transfer pengetahuan. Dalam konsep tarbiyah, kegiatan pendidikan tidak hanya mencakup hal yang sederhana atau ta’lim, tetapi mencakup kegiatan pendidikan yang lebih mendalam yakni ta’dib. Pendidikan yang mendalam tersebut yakni mengedepankan pengembangan karakter. Namun Konsep ini terkendala untuk dicapai dalam pendidikan di masa pandemi.
“Sekarang, situasi sudah berubah. Siswa sudah bisa pergi ke sekolah dan menikmati pengalaman langsung di dalam kelas. Jadi, kita harus berjuang untuk menghidupkan dan merevitalisasi pendidikan yang menekankan pada pentingnya pengembangan karakter yang baik untuk anak-anak didik kita,” ujar Syamsul.
Baca Juga : Kokohkan Predikat Kampus Intenasional, UMM Gabung AUAP dan EURAS
Di sisi lain, dalam paparan materinya, Prof. Te-Sheng Chang mengatakan bahwa pengembangan profesionalisme dosen telah lama menjadi komponen penting dalam pendidikan tinggi. Selama empat dekade terakhir, pada rentang tahun 50-an hingga 90-an, pengembangan profesionalisme dosen telah mengalami lima fase.
Tahun 50-an dan 60-an adalah era para sarjana yang berfokus pada keterampilan penelitian dan produktivitas. Tahun 70-an adalah era pengajar yang berfokus pada pengembangan keterampilan pengajar. Tahun 80-an adalah era pengembang, yang berfokus pada pengajaran dan penelitian yang bersifat fakultas sentris.
“Di tahun 90-an adalah era pelajar, yang berfokus pada perubahan paradigma dari mengajar menjadi belajar. Lalu saat ini kita berada di era kerja sama dan jejaring yang berfokus pada kolaborasi antar fakultas untuk mendorong kajian interdisipliner,” terang Profesor National Dong Hwa University, Taiwan ini.
Oleh karena itu, masih menurut Te-Sheng Chang, pembelajaran berbasis masalah yang berorientasi pada proyek penting untuk diterapkan. Pasalnya, desain pembelajaran ini tidak hanya memacu kreativitas mahasiswa, tetapi juga meningkatkan profesionalisme pengajar di universitas. “Untuk itu, kurikulum perlu dikembangkan dengan menggabungkan tiga konsep kunci, yakni desain partisipatif, pemikiran yang visioner, dan komunikasi visual,” terangnya.
Di sisi lain, Prof. Dr. Ribut Wahyu Eriyanti kali ini mengambil angle yang berbeda dalam mengupas tema konferensi. Ia menyoroti bagaimana peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dalam menyiapkan pendidik profesional abad 21. Menurutnya, ada tiga pilar penting dalam revitalisasi peran Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pertama, pendidikan berbasis kompetensi menjadi salah satu misi utama perguruan tinggi. Sebagai pendidik, kompetensi yang harus dimiliki meliputi keompetensi pedagogi, professional, kepribadian, dan sosial.
“Pilar yang Kedua, membekali peserta didik penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya pemanfaatan Internet of things (IoT), virtual/augmented reality, dan juga Artifical Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan. Terakhir, LPTK berperan untuk membekali guru dalam mengintegrasikan pemanfaatan teknologi, pedagogi, dan pengetahuan substantif keilmuan dalam pembelajaran (TPACK),” tegasnya.
Selain Prof. Te-Sheng Chang dan Prof. Dr. Ribut Wahyu Eriyanti, M.Si., M. Pd, acara ini juga turut mengundang pembicara lain seperti Assoc. Prof. Dennis Alonzo, Ph.D dari University of New South Wales Australia, Prof. Muhammad Ali dari University of California Riverside, Prof. Dr. Tobroni, M.Si, Prof. Dr. Dwi Priyo Utomo, M.Pd. dari Universitas Muhammadiyah Malang. (*/wil)