Kenapa Bukber Sering Jadi Ajang Pamer? Ini Kata Dosen UMM

Author : Humas | Selasa, 19 Maret 2024 07:09 WIB
Awan Setia Dharmawan, S.Sos., M.Si, (Foto : Laili Humas).

Tradisi buka bersama (bukber) yang menjadi momen kebersamaan dan ajang mempererat silaturahmi, tak jarang dihindari oleh sebagian orang. Pasalnya, obrolan yang berlangsung pada kesempatan itu kerapkali menjadi ajang untuk memamerkan diri. Fenomena ini menarik perhatian banyak kalangan, termasuk Awan Setia Dharmawan, S.Sos., M.Si, selaku dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). 

“Orang bukber itu membawa kepentingan yang berbeda. Ada yang murni ingin menjalin silaturahmi atau justru show off dengan menampilkan apa yang dipunya. Ini merupakan salah satu bentuk ekspresi diri selama masih dalam batas yang wajar,” ujar Awan, sapaannya.

Baca juga : Dua Buku tentang Malik Fadjar Diluncurkan

Menurutnya, terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan pamer saat bukber. Salah satunya adalah sebagai upaya balas dendam dari pengalaman masa lalu. “Mungkin dulu sempat dibully dan sekarang ingin membuktikannya. Tapi, ini secara tidak langsung atau eksplisit,” ujar awan. 

Selain itu, momen berkumpul dalam bukber seringkali dijadikan platform untuk menegaskan siapa diri seseorang di hadapan orang lain. Ini sejalan dengan konsep personal branding yang bertujuan untuk mengendalikan atau mempengaruhi bagaimana citra diri seseorang dilihat oleh orang lain.

Baca juga : Konsumsi Alkohol Sebabkan Kerusakan Mata? Ini Penjelasan Dokter UMM

"Dalam perspektif sosiologis, fenomena pamer dalam bukber dapat dipahami sebagai bagian dari teori hyper consumption, di mana masyarakat cenderung mengonsumsi barang lebih dari kebutuhan untuk mengekspresikan identitas dan status sosialnya," ungkapnya.

Fenomena ini semakin dipicu dengan kebutuhan untuk berfoto dan mengunggahnya di media sosial. Ini memunculkan tekanan untuk tampil menarik dalam setiap kesempatan. Bahkan, jika itu berarti harus mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang baru atau mempersiapkan bukber dengan segala kemewahan.

Ironisnya, hal tersebut dapat memunculkan rasa iri di kalangan individu tertentu karena merasa terpinggirkan atau tidak mampu mengikuti gaya hidup yang lainnya. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana individu dapat mengelola emosinya di tengah tekanan sosial tersebut.

“Bahkan, kadang ada pertanyaan yang lebih personal, seperti ‘Kapan lulus? Penghasilanmu berapa? Kerja di mana?’.  Pertanyaan itu efeknya bisa mengerikan, seperti halnya menutup komunikasi kembali atau justru bunuh diri,” tegasnya.

Karenanya  Awan berharap, jangan sampai momen yang seharusnya penuh kebersamaan dan keberkahan, berubah menjadi ajang pamer dan persaingan. “Kurangi perilaku pamer, karena tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama. Show off lah pada circle-mu yang imbang,” pungkasnya. (lai/wil)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image