Yoji Sato selaku Ketua Eurasia Foundations ketika menyampaikan materi dalam Perkuliah Lecture Series (Foto: Haqi Humas) |
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian dan saling membutuhkan satu sama lain. Maka, sederet pertanyaan diberikan oleh Yoji Sato selaku Ketua Eurasia Foundations dalam Perkuliah Lecture Series. Ia menanyakan apa yang menjadi tujuan akhir sebagai manusia, kemana arah tujuan, dan siapa manusia sebenarnya. Adapun agenda ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Asia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bekerjasama dengan Eurasia pada Oktober-November 2022.
Dijelaskan Sato, Eurasia Foundations memiliki tujuan memberikan kontribusi dalam menghapus pertikaian di dunia untuk tercapainya kedamaian di bumi. Untuk menggapi tujuan tersebut, Eurasia berupaya mengadakan perkuliahan di berbagai universitas di kawasan Asia dan Eropa. Harapannya, dengan adanya perkuliahan di berbagai kampus di banyak negara, mahasiswa dapat bertukar pikiran tentang sejarah dunia, budaya, agama, politik, ekonomi, dan lainnya.
“Penyelenggaraan kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun 2010 hingga saat ini. Secara posisi Eurasia tidak berpihak kepada siapapun atau netral dan terbuka bagi semua perguruan tinggi yang ingin berpartisipasi,” jelas pria asal Jepang ini.
Baca juga: Kontribusi Bangun Bangsa, UMM Resmikan UKM SDGs
Lebih lanjut ia menjelaskan, pada dasarnya manusia mengajarkan kebenaran mutlak abadi. Manusia mencari keutuhan dengan konsekuensi ilmu pengetahuan tanpa batas dan dunia tanpa pertikaian. Ia percaya bahwa agama dan mekanisme kuantum adalah yang terdekat untuk menggapai keutuhan abadi. Menurutnya, ada jalan untuk mencapai keutuhan abadi dengan mengeksplorasi empat aspek yaitu ego, manusia, hidup dan substansi utama.
Selain itu, menurutnya manusia terbentuk karena kebiasaan dan lingkungan. Ia bercerita pada abad ke 12, Raja Friedrich II melakukan percobaan kepada dua anak. Anak pertama tumbuh di lingkungan yang mendukung, baik makanan hingga tempat bermain. Sedangkan anak kedua tumbuh di lingkungan kumuh. Hasilnya, anak yang tumbuh berkecukupan menjadi sangat pintar tetapi secara mental bergantung pada orang lain. Sementara anak yang tumbuh di lingkungan kumuh dan tanpa tidak peduli dengan kehidupan orang lain, tetapi secara mental terbentuk dan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Baca juga: Ratusan Pelajar Antusias Ikuti KESI Udang dan Ikan Koi UMM
“Adapun menurut saya fisik manusia adalah hardware, sedangkan ego dan cara berpikir adalah software yang berjalan dalam tubuh. Dan lingkungan membentuk ego softwarenya,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Gonda Yumitro, MA. Ph.D. sebagai pembicara mengangkat tema Migrant Workers, National Identity, and Citizenship Asian Exp. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah pintu awal menyebarnya pekerja migran, terutama dari Asia Tenggara. Menurutnya, banyak isu berkembang, mulai dari rasisme hingga perbudakan.
Isu tersebut banyak terdengar dari negara-negara jazirah Arab. Apalagi didukung dengan sistem kafala yang sangat merugikan pekerja migran. Misalnya saja passport atau gaji yang tidak di tangan mereka tetapi dipegang oleh majikannya.
Para tenaga kerja juga akan berkumpul jadi satu dengan negara asalnya. Hal itu menciptakan identitas nasiaonal yang memunculkan banyk perpektif bagi negara yang didatangi. Salah satu contohnya yakni India yang menyebar di seluruh dunia. Mereka bahkan mampu berkembang dengan pesat. Terbaru, Rishi Sunak berhasil menjadi Perdana Menteri Inggris. Hal tersebut didukung dengan keinginan belajar orang India yang kuat.
“Hal ini berbeda dengan tenga kerja dari Indonesia yang hanya dilatih skill fisik saja. Tetapi dari segi bahasa dan ilmu pengetahuan berbeda jauh dari negara lain. Hal itulah yang masih menjadi kendala hingga kini,“ kata Gonda. (haq/wil)