Rektor UMM, Ketua Umum PP Muhmamadiyah, Menteri Pnedidikan dan Kebudayaan serta para tokoh lintas agama berfoto bersama pada Pidato Kebangsaan, di UMM Dome Minggu (12/8) |
Romantisme kebangsaan terasa kental di Hall Dome UMM , Minggu (12/8). Hari ini, berbagai tokoh agama berkumpul dalam acara Pidato Kebangsaan bertema Meneguhkan Nilai-Nilai Kebangsaan yang Berkemajuan Menyongsong Indonesia Emas dalam rangka menyambut HUT RI ke 73. Hadir dalam gelaran kali ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tokoh Naudlatul Ulama, tokoh agama Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, Penghayat Kepercayaan, dan Kristen.
Memberikan sambutan di awal, Rektor UMM Fauzan menyampaikan bahwa ruh pemaknaan kemerdekaan bagi bangsa ini telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka, dia adalah Kyai H. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah.
“Beliau yang dalam awal gerakannnya telah memilih pendidikan dan kesehatan sebagai amal nyata yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dan bangsa indonesia agar dapat hidup merdeka,” urainya.
Berkesempatan memberikan pidato singkat di awal, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir Effendy yang juga hadir dalam acara tersebut menyampaikan apresiasinya karena acara ini dapat menjadi ruang untuk menyatukan pandangan bagaimana hidup berbangsa dengan keragaman.
“Marilah Muhammadiyah mempolopori tradisi keberagaman bangsa dengan mengisi kemerdekaan,” seru Muhadjir.
Menyambung Muhadjir, pemuka agama Konghucu, Bunsu Anton Triyono juga menyampaikan penghargaannya atas acara ini. Ia pun menegaskan, bahwa keberagaman merupakan hal yang penting untuk selalu dibina. Ia pun menuturkan, saat ini Konghucu menjadi agama yang paling sedikit pengikutnya yakni hanya 3% di Indonesia. Namun meski demikian kehadirannya telah diakui di Indonesia.
“Sya sangat berterima kasih kepada presiden ke-empat yakni Gusdur telah mengembalikan identitas kami sebagai warga negara yang diakui Indonesia,” tuturnya hormat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir menyampaikan semangat yang sama hendaknya juga dimiliki para elit politik dinegeri ini. Para pemimpin baik dilegilatafi, eksekutif, yudikatif dan berbagai macam institusi kenegaraan lain, musti menghayati dan menjadikan agama sebagai pola pikir dan pola tindak yang terintegrasi antara kata dan tindakan.
“Indonesia tidak mungkin menjadi kekuatan yang baku jika dalam tindakan wakil rakyatnya jauh dan tidak mempraktikkan nilai-nilai agama,” tambahnya.
Haedar menambahkan, meski para tokoh dan umat beragama sering begitu indah menyuarakan ukhuwah, keyukunan, persatuan, persaudaraan, perdaiamaian, toleransi dan nilai-nilai luhur agama pada ritual-ritual sosial, namun ternyata ujiannya hal ini tidak mudah ditegakkan dalam kehidupan berpolitik, berkonomi dan berbangsa bernegara
“Manakala masuk ke ranah politidan kekuasaan satu sama lain bisa jadi saling menerkam, buas dan rakus. Pada saat itulah agama dan Tuhan menjauh dari tokohnya dan dari umatnya,” tambah Haedar.
Ia pun menyampaikan, dalam konteks kehidupan berkebangsaan, Muhammadiyah mengajak semuanya agar menjadikan agama lebih dari sekedar ritual dan atribut simbolik. Sebaliknya, jadikan agama sebagai ajaran yang mencerahkan umat, mengeluarkan dari segala ketertinggalan, kebodohan dan kepura-puraan.
“Kita junjung tinggi nilai-nilai ritual sosial sebagai perekat dalam kita bermasyarakat, tetapi pada saat yang sama kita juga memerlukan bangsa ini maju ke depan dengan dinamis progresif dan berkemajuan,”paparnya.
Di akhir Haedar menegaskan, bagi Muhammadiyah negara dan pemerintahan harus benar-benar berdaulat termasuk dari hegemoni politik oligarki. Indonesia harus jadi milik semua jangan jadi milik segelintir orang atau kelompok tertentu seperti apa yang dipesankan Presiden pertama RI, Soekarno.
“Kita mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Tetapi semuabagi semua,” pungkasnya.(apn/sil)