Produk halal yang memiliki potensi besar di Indoensia. (Foto: Syifa Humas) |
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Tepatnya berada di angka 240 juta. Hal itu memberikan banyak pengaruh, mulai dari kebijakan, pelayanan, hingga bahkan makanan. Dalam regulasinya, makanan halal kini harus memiliki tanda bahwa makanan tersebut halal. Sehingga memberikan kepastian dan kenyamanan bagi konsumen.
Menurut Kepala Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM Prof. Dr. Ir. Elfi Anis Saati, M.P. mengatakan bahwa potensi produk halal di Indonesia sangat besar. begitupun dengan pembuatan produk halal yang dinilai sangat baik untuk pasar. PTidak hanya bagi pasar Indonesia saja, tapi juga bagi pasar global. Apalagi melihat bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yakni sebanyak lebih dari 200 juta. Bahkan mencapai 40% dari total penduduk Asean.
Lebih lanjut, ia mnegatakan bahwa kehadiran sertifikat halal juga turut membantu dalam lancarnya produksi makanan halal dan keterjaminannya. Apalagi kini sertifikat halal sudah diakui oleh World Trade Organization (WTO). Kini, halal juga sudah menjadi gaya hidup banyak orang dan mendorong tumbuhnya ekonomi syariah.
“Produk halal juga berefek pada rasa aman yang dimiliki oleh para konsumen muslim. Maka dari itu, pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian harus mengupayakan percepatan pengembangan produk halal,” tambahnya.
Elfi, sapaan akrabnya juga menjelaskan bahwa sampai saat ini terdapat 25% UMKM yang memiliki sertifikat halal, 58% mempunyai P-IRT, 38,24% memiliki MD namun belum melengkapi CPPOB (Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik). Maka dari itu, Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM terus melakukan kegiatan penunjang sertifikasi halal.
Maka dari itu, untuk melancarkan pengembangan makanan halal serta prosesnya, pendampingan menjadi salah satu hal yang penting. Salah satunya melalui pendampingan-pendampingan dan juga sosialisasi. Sampai saat ini, Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM telah melakukan sederet kegiatan. Mulai dari Lokakarya “Keamanan dan Kehalalan Pangan”, pelatihan uji deteksi cepat bahan makanan berbahaya, pengabdian serta membuat kantin sehat.
“Lebih dari itu kami juga selalu melakukan penelitian dengan luaran paten dan jurnal Nasional serta Internasional,” tutur Elfi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, M.S., M.Ec., Ph.D. Menurutnya, proses sertifikasi halal saat ini masih melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Adapun penilaian produk didasarkan pada titik kritis yang ada. Dimulai dengan pemeriksaan bahan yang terbagi menjadi bahan baku dan bahan tambahan. Keduanya harus bebas dari hal yang haram. Adapula bahan penolong yang diharuskan tidak berasal dari babi, anjing dan tubuh manusia.
Titik kritis selanjutnya yakni dari segi proses. Hosen, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa tempat dan proses produksi tidak boleh tercemar bahan najis. Kalaupun tercemar bahan najis selain mughalladhah, maka harus ada pencucian secara syar’i. Hal lain yang tidak kalah penting yakni kesucian alat serta bahan kemasan.
Hosen juga menekankan hal lain yang perlu diperhatikan sebelum mengajukan sertifikasi halal. Salah satunya menghindari bahan makanan yang berasal dari tubuh manusia. “Kalau ditemukan, tentu saja ditolak karena bahan itu diharamkan. Yang mengandung babi itu juga akan ditolak. Adapun kalau cuma tercampur najis nutawassithah, itu bisa dipertimbangkan asal bisa dibersihkan lagi dengan baik," pungkas Hosen menjelaskan. (wil)
Penulis: Hassanalwildan Ahmad Zain | Editor: Hassanalwildan Ahmad Zain