Ramai Kasus Salah Tangkap, Begini Kata Dosen FH UMM

Author : Humas | Rabu, 29 Mei 2024 07:03 WIB
Ilustrasi Tersangka (Foto : Dita Humas)

Isu salah tangkap tersangka sedang menjadi trending topic karena mencuatnya kasus pembunuhan Vina. Melihat ramainya kasus tersebut, Shinta Ayu Purnamawati, S.H., M.H. selaku dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjelaskan bahwa warga negara Indonesia (WNI) yang merasa menjadi korban aparat maupun korban tindak pidana dapat melaporkan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Menelaah lebih jauh, harus diakui bahwa kecerobohan aparat penegak hukum dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM pada orang yang tidak bersalah.  Namun di sisi lain masyarakat juga harus melihat kemungkinan kecerobohan ini karena adanya tekanan dari banyak pihak pada saat kasus tersebut terjadi, yang mana mengharuskan agar aparat segera menangkap dan menyelesaikan kasus tersebut. 

Baca Juga : Presiden Iran Meninggal, Bagaimana Dukungan untuk Palestina?

“Dengan adanya desakan tersebut, aparat kita ‘membabi buta’ demi untuk mendapatkan penilaian ‘baik’ dari masyarakat karena sudah berhasil menangkap pelaku kejahatan,” ujar Shinta 

Dari pandangan hukum, sudah jelas bahwa salah tangkap merupakan pelanggaran yang sangat besar. Akibat dari kesalahan tersebut seseorang yang tidak bersalah harus menjalani pidana penjara dan mendapat label narapidana. Negara bisa dengan mudah memulihkan nama baik orang tersebut, namun sakit dan kerugian psikis tidak bisa dibayarkan. Apalagi hal tersebut dapat membekas dan membutuhkan penyembuhan yang sangat lama, bahkan menimbulkan trauma seumur hidup.
 
“Korban salah tangkap merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia dan termasuk ke dalam kejahatan yang serius. Karenanya, korban berhak menuntut penegak hukum yang telah salah tangkap secara sah, karena korban kehilangan hak hidup, hak pemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak ilmu pengetahuan,” jelasnya. 

Pihak yang dirugikan menurut hukum wajib diberikan ganti rugi dan rehabilitasi sesuai dengan peradilan yang menganut doktrin civil law system, yaitu sistem hukum yang berkembang di daratan Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan melalui persidangan praperadilan di pengadilan negeri akibat adanya tindakan yang merugikan pada tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di Kejaksaan, dan peradilan di pengadilan. 

Baca Juga : Aktif di bidang SDGs, Alumnus UMM Turut Andil di WWF ke 10

“Negara bertanggung jawab terhadap korban salah tangkap karena negara menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan hak yang fundamental sehingga harus terlindungi dan terbebas dari segala bentuk ancaman maupun penyiksaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHAP memang tidak mengatur sanksi bagi penyidik yang melakukan salah tangkap, namun mewajibkan bagi penyidik tersebut untuk memberikan ganti rugi dan rehabilitasi terhadap korban salah tangkap,” terang Shinta.

Pengertian ganti rugi dalam perkara pidana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat  22 KUHAP, mengganti kerugian merupakan hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut tata cara yang diatur dalam KUHAP.

Merujuk hal tersebut, Shinta menyampaikan bahwa masyarakat bisa melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk perlindungan. Namun, masih banyak masyarakat awam yang belum mengerti tentang LPSK. Ini adalah lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana, agar saksi dan korban dapat memberikan kesaksiannya secara bebas, tidak mendapatkan ancaman fisik maupun psikis dari pihak tertentu.

“Sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, tindak pidana yang menjadi prioritas perlindungan meliputi pelanggaran HAM yang berat, korupsi dan tindak pidana pencucian uang, terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika dan psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, serta tindak pidana lainnya yang mengakibatkan posisi saksi atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya seperti penyiksaan, penganiayaan berat dan tindak pidana kekerasan seksual,” tandasnya.

Permohonan perlindungan dapat dilakukan atas inisiatif sendiri ataupun permintaan pejabat yang berwenang. Agar mendapat perlindungan dan bantuan itu, ada beberapa  prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi pemohon. Pemohon dapat mengirimkan permohonan secara tertulis dengan mengirimkan langsung surat permohonan ke Jalan Raya Bogor Km. 24 Nomor 47-49 Jakarta Timur, DKI Jakarta 13750. Pemohon juga bisa mengajukan permohonan secara daring melalui berbagai platform online yang dimiliki LPSK.

Tak lupa Shinta berpesan bahwa seluruh pihak harus saling bekerja sama  untuk peduli terhadap sekitar untuk mengjindari kasus-kasus pelanggaaran hukum, termasuk melindungi saksi maupun korban. “Sinergisitas masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum untuk saling mengawasi dan evaluasi baik terhadap aturan, penegak hukumnya, maupun budaya atau kebiasaan di masyarakat sangatlah dibutuhkan,” pungkasnya. (dit/wil)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image