MEMPERINGATI Hari Ibu yang bertepatan pada 22 Desember 2015, Lembaga Pengkajian dan Pembedayaan Perempuan dan Anak (LP3A) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan Refleksi Hari Ibu bertema “Perempuan di Poros Putaran Peradaban Bangsa”. Kegiatan berlangsung di Ruang Sidang Senat (RSS) UMM, Selasa (22/12).
Refleksi dibuka oleh Kepala LP3A Dra Thathit Manon MHum dan aktivis Aisyiyah Suryan Widati SE MSA Ak. Dalam sambutannya, Thathit menyebut perempuan sebagai poros peradaban. “Poros itu pusat. Jadi perempuan adalah pusaran yang membudayakan, yang membuat beradab,” tegasnya.
Sementara itu, Suryan Widati menilai, sebenarnya perempuan tidak memerlukan Hari Ibu, lantaran setiap hari adalah Hari Ibu. “Jika setiap hari kita melihat anak-anak kita sehat, shaleh, dan menyayangi kita, maka itulah Hari Ibu. Apalagi sebagian besar peserta di sini kan para pendidik, jadi kita tidak hanya ibu bagi putra-putri biologis, tapi juga anak-anak didik kita,” paparnya.
Selanjutnya, materi refleksi disampaikan oleh Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMM Dr Trisakti Handayani MM dan Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) Dr Yuni Pratiwi MPd.
Yuni mengangkat topik tentang pendidikan literasi bagi perempuan dalam mewujudkan generasi kreatif. Bagi Yuni, peran perempuan Indonesia era sekarang berbeda dengan fase-fase sebelumnya. “Di fase pertama, perjuangan perempuan adalah meraih kemerdekaan dengan melawan penjajah. Tokoh-tokoh seperti Tjut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Tjut Meutia, Martha Christina Tiahahu dan Wolanda Maramis adalah di antara para pejuang itu,” terang Yuni.
Kemudian, pada fase kedua, perjuangan perempuan adalah melawan kebodohan melalui pendirian sekolah untuk perempuan. Fase ini menandai bangkitnya kesadaran perempuan akan pentingnya pendidikan. Sedangkan fase ketiga, yaitu era inovasi, kreasi, dan produksi pengetahuan. “Inilah era yang saat ini kita hadapi. Untuk itu, perempuan harus dibekali kompetensi literasi agar bisa bersaing di era ini,” ujarnya.
Bagi Yuni, kehidupan dunia saat ini dipengaruhi oleh literasi dan produksi ide. Ia mencontohkan penulis J.K. Rowling yang berkreasi melalui bukunya yang menjadi best-seller dunia, Harry Potter. Atau Mark Zuckerberg yang berhasil menciptakan facebook sebagai media social terbesar di dunia. “Itu adalah contoh, yang mereka jual adalah ide,” kata Yuni.
Untuk itu, Yuni berharap, perempuan dapat menjadi madrasah pertama bagi keluarganya dalam membangun kompetensi literasi. “Kita harus menjadi inspirasi bagi anak-anak kita dalam menciptakan generasi kreatif, jangan sampai kita terlalu mengandalkan orang lain karena kita lah madrasah pertama mereka,” tandasnya.
Terkait dengan itu, Trisakti Handayani menilai, salah satu hal krusial yang dapat menghambat terciptanya generasi kreatif yaitu krisis identitas yang dihadapi remaja. “Remaja yang mengalami krisis identitas dapat mendorong mereka melakukan tindakan yang tidak pantas, sekaligus dapat menghambat masa depan mereka,” jelas Trisakti.
Di sinilah, lanjut Trisakti, peran ibu sangat penting dalam mendidik anak-anaknya melewati masa remaja. “Apalagi saat ini sangat banyak pengaruh negatif yang dapat merusak identitas seorang remaja. Itulah salah satu tugas berat seorang ibu di era sekarang ini,” pungkasnya. (han)