Dr. Ir. Elfi Anis Saati, M.P. selaku Kepala Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM (Foto: Istimewa) |
Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan proses sertifikasi halal, Halal Centre Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) langsungkan Pelatihan Pendamping Proses Produk Halal. Agenda yang terlaksana pada 23-25 Mei itu diisi oleh sederet pemateri yang berkompeten di bidangnya. Salah satunya Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, M.S., M.Ec., Ph.D.
Adapun agenda ini adalah hasil kerja sama Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Produk Halal UMM, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag RI serta LPH-KHT PP Muhammadiyah. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan sinergisitas kegiatan bertema Halal Thoyib dan juga kompetensi stakeholder Muhammadiyah, utamanya di Malang dan Jawa Timur. Prof. Dr. Ir. Elfi Anis Saati, M.P. selaku Kepala Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM menjelaskan bahwa agenda ini juga memiliki target.
Salah satunya yakni Halal Centre Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dapat bekerja sama dalam proses pendampingan sertifikasi halal UMKM. Apalagi mengingat jumlah UMKM yang mencapai 62,5 juta. Selain itu juga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan serta menyumbangkan aktivitas solutif berupa pendampingan.
Dalam paparannya, Elfi menegaskan bahwa pembuatan produk halal sangat baik untuk pasar Indonesia maupun global. Apalagi melihat bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yakni sebanyak 240 juta. Bahkan mencapai 40% dari total penduduk Asean.
Lebih lanjut, kini sertifikat halal sudah diakui oleh World Trade Organization (WTO). Selain itu halal juga sudha enjadi gaya hidup banyak orang dan mendorong tumbuhnya eknomi syariah. Produk halal juga berefek pada rasa aman yang dimiliki oleh apra konsumen muslim. Maka dari itu, pemerintan, pengusaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian harus mengupayakan percepatan pengembangan produk halal.
Dalam kesempatan itu pula Elfi menjelaskan bahwa sampai saat ini terdapat 25% UMKM yang memiliki sertifikat halal, 58% mempunyai P-IRT, 38,24% memiliki MD namun belum melengkapi CPPOB (Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik). Maka dari itu, Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM terus melakukan kegiatan penunjang sertifikasi halal.
“Salah satunya dengan melaksanakan Lokakarya “Keamanan dan Kehalalan Pangan” dengan guru SMA Jawa Timur, UMKM Malang, Asosiasi Patpi dan Persagi, dan Mahasiswa. Ada juga Pelatihan uji deteksi cepat bahan makanan berbahaya, pengabdian ke SMA Kediri, Probolinggo, Pasuruan, termasuk pedagang martabak di Malang, serta membuat kantin sehat. Lebih dari itu kami juga selalu melakukan penelitian dengan luaran paten dan jurnal Nasional serta Internasional,” tambahnya.
Di lain sisi, Hosen mengatakan bahwa proses sertifikasi halal saat ini masih melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Adapun penilaian produk didasarkan pada titik kritis yang ada. Dimulai dengan pemeriksaan bahan yang terbagi menjadi bahan baku dan bahan tambahan. Keduanya harus bebas dari hal yang haram. Adapula bahan penolong yang diharuskan tidak berasal dari babi, anjing dan tubuh manusia.
Titik kritis selanjutnya yakni dari segi proses. Tempat dan proses produksi tidak boleh tercemar bahan najis. Kalaupun tercemar bahan najis selain mughalladhah, maka harus ada pencucian secara syari. Hal lain yang tidak kalah penting yakni kesucian alat serta bahan kemasan.
"Yang perlu diperhatikan lagi sebelum proses pengajuan sertifikasi halal yakni jangan sampai ada bahan dari tubuh manusia. Kalau ada, tentu saja pasti ditolak. Yang mengandung babi itu juga akan ditolak. Adapun kalau cuma tercampur najis nutawassithah, itu bisa dipertimbangkan asal bisa dibersihkan lagi dengan baik," pungkasnya. (Wil)