Webinar Internasional FAI UMM Kaji Tantangan Islamic Studies Pasca Pandemi
Author : Humas | Rabu, 01 September 2021 10:03 WIB
|
Empat pemateri pada sesi pertama webinar internasional FAI UMM. (Foto: Istimewa) |
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terus melaksanakan berbagai kegiatan internasional meski masih berada di situasi pandemi. Salah satu di antaranya yakni webinar internasional yang digelar oleh Fakultas Agama Islam (FAI) pada Selasa (31/8) lalu. Adapun gelaran yang membahas terkait Islamic Studies in the Post-Pandemic Covid-19 Era: Challenges and Critical Issues ini terbagi dalam dua sesi dan dilaksanakan secara daring.
Webinar internasional itu turut mengundang para pakar dari berbagai negara. Beberapa di antaranya Assoc. Prof. Dr. Muhammad Ali dari The University of California Riverside-USA dan . Adapula Prof. Dr. Moncef Ben Abdel Jelel dari The University De Saosa, Tunisia dan Prof. Dr. Nadirsyah Hosen dari Monash University- Australia. Pun hadir sebagai keynote speaker, Datin Prof. Dr. Rayhanah Bt Abdullah dari University of Malaya. Di samping itu turut hadir para pakar dari UMM seperti Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si., Dr. Pradana Boy ZTF, Dr. Rahmat Hakim. M.MA . dan Dr. Abdul Haris, MA .
Membuka acara, Prof. Dr. Tobroni, M.Si selaku dekan FAI UMM menilai bahwa pandemi juga berdampak pada perkembangan kajian keislaman. Maka dari itu perlu adanya diskusi untuk menemukan formula baru dalam kajian tersebut. “Di tengah situasi pandemi, semua bidang keilmuan berlomba-lomba mengambil peran untuk memberikan solusi atas masalah-masalah yang ada. Termasuk bidang kajian islamic studies,” tuturnya.
Menurutnya, saat ini kajian Islamic studies masih berkisar tentang apa yang terjadi saat ini di masa pandemi. Belum ada kajian yang membahas dengan baik tentang bagaimana peran bidang kajian ini di masa setelah pandemi. Padahal, menurut Tobroni, hal ini sangat dibutuhkan para akademisi untuk dijadikan referensi keilmuan. “Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya untuk menggali, memetakan dan mendefenisikan kembali keilmuan tentang Islamic Studies khusunya dalam bidang Pendidikan Islam, Hukum Islam, dan Ekonomi Islam,” tegasnya.
Sementara itu, Muhammad Ali dalam paparannya menjelaskan terkait Kajian Islam yang ada di Amerika. Menurutnya, kini Islam tidak hanya dipelajari oleh kalangan muslim saja, namun juga oleh non-muslim. Bagi para penganut Islam, kajian islam diharapkan dapat membuat mereka menjadi muslim yang lebih baik. Sementara bagi non-muslim, mereka ingin lebih tahu, memahami dan mengapresiasi terkait Islam yang sebenarnya.
“Kajian Islam ini diharapkan dapat menghasilkan muslim-muslim yang lebih memahami Islam. Di samping itu juga dapat memberikan hubungan yang baik antar muslim dan organisasi. Lebih luas juga untuk mengusahakan hubungan baik dengan para non-muslim,” imbuhnya.
Berbeda dengan Indonesia atau Malaysia, Amerika tidak mengatur keharusan atau pelarangan warganya untuk belajar agama. Maka dari itu ada berbagai institusi pendidikan Islam yang bisa ditemui di sana. Beberapa di antaranya adalah Seminar Islam, American Islamic College, Muslim Liberal Arts, hingga yang tersedia di higher education seperti universitas.
Ali juga menjelaskan terkait berpikir kritis dalam kajian islam. Menurutnya berpikir kritis harus mampu memahami hubungan logis antar ide-ide, menyelesaikan masalah secara sitematis serta percaya pada akal ketimbang emosi sesaat. “Pun harus ada fakta dan bukti. Di samping itu, dalam kajian Islam kita juga harus open minded terhadap penjelasan alternatif yang ada,” tutur Ali.
Pada kesempatan yang sama, Moncef menerangkan mengenai pengajaran berlapis bahasa Arab di kawasan Muslim. Menurutnya, penggunaan pendidikan daring sudah menjadi keharusan di era pandemi. Akan muncul berbagai tantangan seperti kurikulum yang dituntut interaktif, aksesnya, kemampuan para pendidik, kemampuan siswa berteknologi dan keterjangkauan. “Pendidikan juga akan lebih efisien jika menggunakan teks, debat, diskusi dan pendekatan kritis,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Moncef juga menganjurkan agar institusi seperti UMM dapat menggunakan dua metode dalam pengajaran bahasa arab. Pertama, yakni memulai kampung bahasa arab yang diatur oleh kampus. Menurutnya, kampugn tersebut bisa menjadi aset yang baik. “Penggunaan twin teaching method yang disusun oleh para ahli bahasa arab dan Indonesia juga bisa dilakukan untuk memberikan hasil yang maksimal,” pungkasnya.
Webinar internasional ini dibagi menjadi dua sesi utama. Pada sesi pertama, para pakar mengkaji mengenai “Islamic and Arabic Education in The Global Context: Learning Process, Technology and Characters”. Sementara sesi kedua lebih fokus pada “Maqashid and Sustainable Development Goals”. (wil)
Shared:
Komentar