Dulu di zaman orde baru (orba) Presiden dipilih melalui musyawarah mufakat anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR RI dan berbagai utusan golongan. Mekanisme seperti ini paling tidak dipercaya sebagai penjabaran sila keempat azas Pancasila. Namun setelah Presiden Soeharot terpilih lagi dan lagi hingga berkuasa lebih dari 30 tahun, maka terjadi gonjang ganjing politik yang pada ujungnya sistem atau mekanisme pemilihan ini diganti menyerupai cara-cara demokrasi liberal yang filosofinya adalah suara rakyat suara Tuhan, one man one vote, atau dalam pengertian lain apapun kondisi, status, kualitas dan peranannya di negeri ini semua orang hanya memiliki satu suara untuk memilih Presiden.
Dalam perjalanannya ternyata tidak hanya pemilihan Presiden yang dipilih langsung seperti dijelaskan diatas tetapi pemilihan Gubernur hingga ke tingkat kepala desa juga dipilih secara langsung. Inilah yang menurut saya menjadi biang kerok dari permasalahan hiruk pikuk pemilu seperti politik uang, anarki, kerusuhan dan kegaduhan politik yang menyita enersi segenap masyarakat.
Berdasar laporan kemeneterian dalam negeri lebih dari 300 kepala pemerintah daerah tersangkut kasus hukum (korupsi) selama masa reformasi yang telah memberlakukan pemilihan langsung. Ekses-ekses tersebut diatas tidak bisa dipungkiri sedikit banyaknya merupakan andil dan akibat dari cara dalam menentukan pemimpin kita. Politik uang terjadi disebabkan memang adanya kesenjangan sosial yang menganga antara mereka yang memiliki akses memperkaya diri dengan masyarakat awam yang berada dalam jeratan ketidakberdayaan kemakmuran sebagaimana kita saksikan dibanyak negara berkembang (miskin).