Dosen UMM angkat bicara mengenai aksi ekstremisme. (Foto: Istimewa) |
Aksi ekstremisme semakin ke sini kian mewabah. Dalam realita sehari-hari, ujaran kebencian tak hanya dijumpai pada kehidupan nyata namun juga dunia digital. Saling menyudutkan masing-masing ras, suku, budaya dan bahkan yang baru-baru ini ditemui yakni diskriminasi dalam beragama.
Menyoroti fenomena tersebut, dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) FAI UMM Nafik Muthohirin, angkat bicara. Menurut Nafik, ekstremisme telah menjadi fenomena yang menyita perhatian global beberapa dekade terakhir. Dalam berbagai konteks, ekstremisme politik, agama, dan ideologi telah menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sosial, perdamaian, dan keamanan di berbagai negara.
Ekstremisme juga sering mengacu pada keyakinan atau pendekatan yang ekstrem atau radikal. Di mana individu atau kelompok tertentu menganut ideologi yang jauh dari kata mainstream. Mereka juga akan selalu berusaha menggunakan cara-cara yang ekstrem untuk mencapai tujuanya.
Baca juga: Berita FKIP UMM Sukses Cetak Lulusan PPG Terbanyak
"Kalau kita lihat, banyak masyarakat saat ini yang melakukan aksi ekstremisme dengan daih atas kebenaran agama. Padahal tidak ada satupun agama yang membenarkan aksi kekerasan dalam bentuk apapun,” tegasnya.
Mengutip dari pandangan klasik, Nafik memaparkan kasus esktremisme di tubuh umat Islam sendiri. Tak jarang, kasus ini terjadi akibat penafsiran terhadap ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur'an yang dimaknai secara literal, kaku, dan tertutup. Ditambah lagi dengan faktor-faktor lain yang memulai timbulnya perilaku ekstremisme tersebut.
“Maka, upaya untuk memahami akar masalah, mencegah radikalisasi, dan mempromosikan nilai-nilai toleransi dan harmoni menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan ekstremisme ini,” katanya.
Baca juga: Dubes Indonesia untuk Spanyol di AIK UMM: Sudah Waktunya Muhammadiyah Lebarkan Sayap ke Spanyol
Ia yang juga menjabat sebagai Direktur Program RBC Institute A. Malik Fadjar tersebut menilai, madrasah atau pesantren khususnya di Indonesia, memiliki peran penting. Mereka perlu menyebarluaskan nilai-nilai keluhuran, perdamaian, dan moderasi beragama.
Nafik juga menekankan pemahaman akan pentingnya menghargai keberadaan kelompok lain (agama, suku, ras, atau kelompok) sejak dini. Pendidikan formal maupun informal sangat dianjurkan untuk menekankan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, kabaikan, keadilan dan perdamaian. Hal itu tentu membantu peserta didik mamahami makna dari suatu ayat suci.
Misalnya saja dengan memberikan contoh konkret atau cerita yang relevan dengan ayat terkait. Sehingga peserta didik dapat memahami penerapan ayat dalam konteks kehidupan nyata. Hal ini akan membantu mereka melihat bagaimana ayat dapat diterapkan dalam tindakan sehari-hari.
"Setelah aspek pemahaman diberikan, maka peserta didik perlu diajarkan toleransi aktif dengan mengajak kerjasama atau kolaborasi bersama kelompok berbeda. Dengan begitu kita bisa mewujudkan kehidupan yang lebih harmoni dan damai” pungkasnya. (rev/wil)