M. Isnaini, M.Pd. Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (Foto : Yafi Humas) |
Istilah marketplace guru akhir-akhir ini menjadi perbincangan di kalangan pendidikan. Fenomena ini menuai pro dan kontra. Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) mencetuskan ide tersebut sebagai upaya dalam mengatasi masalah tenaga guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) M. Isnaini, M.Pd. mengatakan bahwa secara program, hal ini patut diapresiasi. Menurutnya, program tersebut dapat menjadi jalan pemerataan guru dan mampu mempermudah akses perekrutan guru.
“Secara program, hal ini bukanlah suatu masalah yang signifikan. Meskipun ada plus minusnya, tetapi hadirnya program tersebut mampu membuat pemerataan guru di sekolah-sekolah,” ucap dosen yang akrab disapa Krisna tersebut.
Baca Juga : Bagaimana Pengucapan Kata QRIS? Ini Jawaban Dosen Bahasa Indonesia UMM
Meski demikian, Krisna juga mencermati istilah penggunaan kata “marketplace”. Menurutnya, istilah ini tidak menghargai marwah profesi guru. Hadirnya istilah ini jangan sampai membuat masyarakat yang tidak paham, menganggap bahwa guru menjadi barang dagangan. Guru yang seharusnya dihormati dan dihargai jasanya, malah dianggap rendah dan diremehkan begitu saja akibat pembuatan istilah yang kurang keberterimaannya di masyarakat.
“Market itu kan pasar dan placenya itu penjualan secara online. Jadi terminologi bahasa yang dipakai menurut saya sangat kurang tepat. Jangan sampai orang atau manusia dianggap seperti barang. Marwah guru tentu akan jatuh. Nanti bisa-bisa muncul pertanyaan, guru bisa di-pay later kah? bisa COD dong?,” ucap Krisna.
Ia lalu mengingatkan, bahwasanya di dalam Kementrian Pendidikan kebudayaan riset dan teknologo RI, ada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) yang memiliki tugas kontroling penggunaan dan perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia.
Adanya lembaga negara atau BPPB ini seharusnya bisa mengoreksi arau memberi pertimbangan atas penggunaan istilah tersebut. Menurutnya, ketika menteri akan membuat kebijakan, sudah seharusnya ada kajian sebelumnya, termasuk penggunakan istilah bahasa yang menjadi produk kebijakan Kemdikbudristek RI.
Baca Juga : UMM-Kemendag RI Percepat Perdagangan melalui Sistem Elektronik
Sebagai dosen bahasa Indonesia, ia juga menyarankan untuk menggunakan istilah-istilah yang ada di bahasa Indonesia. Hal itu lebih menunjukkan kedekatan kepada masyarakat dan lebih dekat dengan budaya dan sosial masyarakat.
"Sebaiknya gunakan isitilah bahasa Indonesia, apalagi ada komitmen pemerintah melalui Kemdikbudristek RI terkait internasionalisasi bahasa Indonesia sebagai mana amanah UU nomor 24 tahun 2009 pasal 44 tentang peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional. Dengan demikin rasa cinta Bahasa Indonesia terus hidup dan lekat secara sosiokultural,” pungkasnya. (Nel/Wil)